Mahfud MD: Tak Seenaknya Hidup Berdemokrasi, Perlu Represi Negara
search

Mahfud MD: Tak Seenaknya Hidup Berdemokrasi, Perlu Represi Negara

Zona Barat
Menko Polhukam Mahfud MD. Foto: Kumparan.

Politeia.id -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa terlalu leluasa mengekspresikan kebebasan berpendapat di negara demokrasi bisa menyulut konflik. Negara perlu melakukan tindakan represif untuk mengontrol keseimbangan dan kohesi hidup berbangsa dan bernegara.

"Demokrasi seringkali menimbulkan konflik vertikal dan horizontal yang mengganggu ketentraman, ketertiban dan keamanan di suatu negara," ujar Mahfud dalam seminar virtual "Menghadapi Tantangan Demokrasi, Perdamaian, dan Keamanan" yang diselenggarakan oleh LIPI dan Asosiasi Riset Perdamaian Asia Pasifik sebagaimana ditayangkan The Jakarta Post, Jumat (8/1).

Menurut pakar hukum tata negara, Indonesia menghadapi dilema hidup berdemokrasi ini dalam sejarahnya. 

Salah satunya terjadi pasca Reformasi 1998, di mana ada kecenderungan orang untuk menafsirkan kebebasan secara berlebihan, bahkan melanggar koridor hukum.

"Di tingkat komunitas, gerakan-gerakan yang tidak mudah dikendalikan telah tumbuh sehingga integrasi teritorial dan integrasi ideologis mulai mengalami gangguan, polarisasi dan kontradiksi dalam prosesnya yang dipengaruhi oleh munculnya ikatan primordial," papar Mahfud.

Ia menandaskan bahwa demokrasi dibutuhkan tidak hanya untuk menempatkan masyarakat pada posisi sentral dan sebagai penentu arah kebijakan pemerintah.

Demokrasi, di sisi lain, juga sebagai mekanisme pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara dalam negara-bangsa yang majemuk dengan berbagai ikatan primordial.

Karena itu, negara bertindak tegas bahkan dengan mengambil langkah-langkah represif, sehingga kerap disebut sebagai penguasa otoriter yang tak kalah jauh dari rezim Orde Baru.

Salah satu tindakan yang dianggap "represi" negara terjadi baru-baru ini ketika enam lembaga tinggi negara membubarkan Front Pembela Islam (FPI) karena dianggap terlalu bebas dan leluasa mengekspresikan kebebasannya di masyarakat.

Selain terlibat dalam aksi terorisme, FPI disebut cenderung main hakim sendiri dengan melakukan sweeping, penggerundukan, dan terlibat dalam aksi kekerasan di masyarakat.

Bahkan, ideologi yang diusung organisasi massa penekan pemerintah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kunci di negara Indonesia: Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Mahfud menegaskan bahwa tindakan represi yang dilakukan pemerintah sebetulnya merupakan tuntutan publik yang menginginkan negara bertindak tegas terhadap distorsi demokrasi yang mulai mengancam integrasi dan mengganggu ketentraman, ketertiban dan keamanan bangsa.

Karena itu, dalam praktiknya, pemerintah berupaya mengambil langkah terukur untuk menjaga keseimbangan antara hak atas demokrasi dan kewajiban memelihara integrasi. Meski demikian, antara demokrasi dan integrasi ada pertentangan.

Demokrasi ingin membuka spektrum kebebasan yang luas agar setiap orang atau kelompok masyarakat (termasuk kelompok primordial) dapat memperjuangkan aspirasinya secara bebas, sedangkan integrasi cenderung berupaya mengekang kebebasan agar bangsa tetap bersatu.

"Inilah dilemma: jika demokrasi terlalu longgar maka integrasi terganggu. Jika integrasi terlalu ditonjolkan maka demokrasi yg terpasung. Demokrasi dan integrasi sama pentingnya bagi kelangsungan negara. Tugas kita menjaga keseimbangan agar keduanya subur," ujar Mahfud.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa perdebatan demokrasi vs integrasi akan berlanjut melalui proses politik yang cukup kuat yang saling tarik-menarik, yaitu seruan kebebasan sebagai semangat demokratisasi di satu sisi dan seruan tindakan tegas serta bukti kehadiran negara dalam menjaga integrasi negara di sisi lain.

"Ketika integrasi diberlakukan terlalu ketat, pemerintah dituduh otoriter, tetapi ketika terlalu memerdekakan dalam proses demokrasinya, negara dianggap membiarkan demokrasi itu sendiri terancam," pungkasnya.

Karena itu, Mahfud mengajak semua elemen masyarakat memahami supremasi hukum yang berlaku di Indonesia. Hanya dengan itu pertentangan kedua spektrum itu bisa diatasi.

"Jika memungkinkan, kita juga dapat menemukan strategi yang lebih dapat diterima dan langkah-langkah yang dapat diterapkan, yaitu membangun demokrasi tanpa membahayakan integrasi," ungkapnya.*

Tag:

comments