Pendiri NU yang Hilang dari Kamus Sejarah RI Pernah Serukan Resolusi Jihad Bela Negara
search

Pendiri NU yang Hilang dari Kamus Sejarah RI Pernah Serukan Resolusi Jihad Bela Negara

Zona Barat
Hadratus Syech Hasyim Asy`ari serukan jihad bela negara pada perang kemerdekaan 1945. Foto: Politeia/NU.

Politeia.id -- Salah satu tokoh pendiri Nahdatul Ulama (NU), Hadratus Syech Hasyim Asy`ari, yang namanya hilang dari Kamus Sejarah RI, disebut pernah menyerukan resolusi jihad melawan tentara Sekutu pada perang kemerdekaan 1945.

Kala itu, tepatnya pada Oktober 1945, Belanda memprovokasi melalui siaran radio bahwa pada tanggal 25 Oktober Inggris akan datang untuk menangkap kolaborator dan tentara didikan Jepang.

Dua tokoh yang diincar Sekutu adalah Soekarno dan Moch Hatta, proklamator kemerdekaan RI, dan para santri yang tergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA), Heiho, dan Hizbullah sebagai tentara didikan Jepang.

Pada 15 Oktober, utusan Bung Karno pun datang menemui KH Hasyim Asy`ari untuk mengeluarkan fatwa tentang bela negara.

Rais Akbar PBNU KH Hasyim Asy`ari, yang memenuhi permintaan Soekarno pun menggerakkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.

Seluruh pria dan wanita NU di seluruh Jawa dan Madura hadir pada 21 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Ansor NU (sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya.

Pada hari itulah KH Hasyim Asy`ari menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya.

Untuk menggelorakan patriotisme umat Islam Hasyim Asy`ari menyampaikan pidato yang isinya meminta seluruh warga NU bangkit melawan kolonialisme.

Berbicara dalam Arab, isi pidato Hasyim Asy`ari kira-kira demikian:

"Apakah ada di antara kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah.

Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.

Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah Ieher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu."

Sehari setelah pidato tersebut, PBNU mengadakan rapat pleno yang dipimpin KH AW Chasbullah.

Rapat pleno itu mengambil keputusan tentang Jihad Fii Sabilillah dalam membela tanah air dan bangsa yang diserukan kepada umat Islam dan menerukan Resolusi Jihad Fii Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia.

Demikianlah, resoluasi jihad berpuncak pada perang 10 November 1945 yang hingga kini dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Banyak warga Indonesia yang membela kemerdekaan gugur di medan perang sebelum berhasil mengalahkan Sekutu dan mengibarkan bendera Merah Putih.

Menurut Sejarawan Agus Sunyoto dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945, pidato KH Hasyim Asy`ari tentang kewajiban umat lslam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya itu mencakup tiga hal.

Pertama, hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan RI sekarang ini adalah fardlu `ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin, meskipun bagi orang kafir.

Kedua, hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid.

Ketiga, hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh.*

Tag:

comments