Presiden Jokowi Minta Dikritik, Demokrat: Belajar dari Kejatuhan Soeharto!
search

Presiden Jokowi Minta Dikritik, Demokrat: Belajar dari Kejatuhan Soeharto!

Zona Barat
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. Foto: Politeia.id/dok. pribadi

Politeia.id -- Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan permintaan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar masyarakat aktif memberikan masukan dan kritik terhadap Pemerintah sebagai momen intropeksi diri.

Menurut Herzaky, masyarakat Indonesia, khususnya pendukung Presiden Jokowi harus belajar dari kejatuhan Presiden ke-2 RI, Soeharto.

"Presiden Joko Widodo mungkin meminta kepada para pendukungnya untuk introspeksi diri, untuk aktif mengkritik juga. Selama ini, pendukungnya mungkin hanya memuji dan mengiyakan apapun kebijakan dan langkah-langkah beliau. Padahal, kondisi seperti ini kan berbahaya. Beliau mungkin belajar dari pengalaman almarhum Pak Harto," ujar Herzaky dalam keterangannya kepada Politeia.id, Selasa (16/2).

Herzaky menjelasakan, di era Soeharto, banyak pendukung memuji Bapak Pembangunan RI itu dengan segala kebijakannya. Kondisi itu berbeda ketika Indonesia dihantam krisis moneter tahun 1998, dimana semua pendukung, termasuk menteri dan orang dekatnya balik badan.

"Membiarkan beliau mengatasi masalah sendiri, yang kemudian berujung kepada pengunduran diri di Mei 1998," jelas Herzaky.

Dalam pandangan Herzaky, apa yang disampaikan Jokowi masuk dalam konteks itu. Agar semua kebijakan mantan Wali Kota Solo, Jawa Timur itu tak sekedar dipuji, namun juga dikritik.

"Karena itulah, mungkin Pak Jokowi minta pendukungnya aktif mengkritik, jangan memuji-mujinya saja. Pak Jokowi sepertinya habis membaca penilaian The Economist Intelligence Unit mengenai kinerja demokrasi Indonesia yang terus menurun. Bahkan, terjelek selama 14 tahun terakhir," tukas dia.

"Beliau mungkin merasa sudah bekerja sebaik mungkin, lalu para pembantunya di kabinet juga memberitahu beliau kalau demokrasi kita baik-baik saja, tapi mengapa menurut berbagai lembaga demokrasi yang kredibel, kinerja demokrasi Indonesia ternyata terus menurun. Nah, mungkin karena itulah beliau minta para pendukungnya aktif mengkritik, mengingatkan kalau ada langkah beliau yang tidak berpihak pada rakyat," imbuh Herzaky.

Lebih lanjut Herzaky mempertanyakan permintaan Jokowi untuk dikritik. Pasalnya, selama ini Jokowi sudah kerap kali dikritik oleh berbagai pihak. Baik media massa, masyarakat sipil, pegiat demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), partai politik oposisi.

"Mungkin beliau dan para pejabat pemerintahannya yang mesti introspeksi diri. Sudah banyak sebenarnya kritik yang dilayangkan. Apa belum cukup kritiknya selama ini? Malah, sekarang orang mulai khawatir kalau mengeluarkan pendapat. UU ITE yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan transaksi elektronik, malah dijadikan alat gebuk untuk yang berbeda pendapat," kata dia.

Mengutip Data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International, lanjut Herzaky, kasus kebebasan berekspresi yang terkait UU ITE, naik lebih dari tiga kali lipat di era pemerintahan Jokowi dibandingkan pemerintahan SBY.

Dari 74 kasus pada masa pemerintahan SBY (2009-2014) menjadi 233 kasus pada pemerintahan Jokowi (2014-2019).

"Peningkatan tiga kali lipat ini luar biasa. Padahal, baru satu indikator ini yang kita gunakan. Ibarat kata, pemerintahan Jokowi dan pemerintahan sebelumnya sama-sama dibekali tongkat. Bedanya, pemerintahan sekarang lebih rajin menggunakan tongkat itu buat menggebuk, bukan buat membantu orang jalan," ujar dia.

Melihat perbandingan itu, Herzaky mengatakan wajar jika publik skeptis merespon pernyataan Presiden Jokowi yang meminta masyarakat aktif mengkritik. Kata dia, selama ini, bukan masyarakat yang kurang aktif mengkritik, melainkan pemerintah yang seakan tak bisa menerima kritik.

"Ada pandangan yang berkembang di publik, kalau sedikit kritik saja ke pemerintah, bakal langsung ditangkap. Dijerat dengan UU ITE. Gagal dengan UU ITE, digunakanlah aturan terkait Covid-19," jelasnya.

Herzaky kemudian mengutip pernyataan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhyono (SBY), bahwa kritik seharusnya menjadi obat.

"(Jika) Dosisnya tepat, bakal mampu menanggulangi permasalahan. Sedangkan pujian itu laksana gula. Kalau berlebihan, bisa menyebabkan sakit," kata dia.

"Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono sendiri selalu mengingatkan kepada kami. Introspeksi diri. Dengarkan pendapat, masukan, dan kritik dari orang lain. Jangan selalu merasa benar sendiri. Karena masukan dan kritik itu pasti sangat bermanfaat dalam mengingatkan kita, untuk membantu kita mengambil keputusan atau pilihan kebijakan yang lebih tepat. Semoga Pemerintah kita memiliki prinsip yang sama," kata Herzaky.

Tag:

comments