Residivis Gentayangan, Penjara Menjadikan Penjahat Lebih Jahat
search

Residivis Gentayangan, Penjara Menjadikan Penjahat Lebih Jahat

Zona Barat
Ilustrasi tahanan dalam penjara. (Phidelphia Inquirer)

Politeia.id--Istilah residivis sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Residivis merupakan pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yang sama.

Dalam hal ini, tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Residivis diatur dalam Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Data kasus residivis yang ditangani Direktorat Reserse Kriminal Polda Metro Jaya dan Polres Jajaran Polda Metro Jaya tahun 2019 lalu sebanyak 54 kasus. Sebagian besar pelaku residivis tersebut disangkakan dengan Pasal 363 dan Pasal 365 KUHP. Ada 16 kasus yang melakukan perbuatan yang sama selama tiga kali setelah ke luar dari penjara. Selebihnya dua kali beraksi.

Kasus terbaru selama bulan Juli 2020, Polda Metro Jaya menangkap empat residivis kasus narkoba. Dalam aksinya, para pelaku mengedar narkoba dengan total barang bukti sabu seberat 31,2 kilogram, ganja 235 kilogram, dan ekstasi 2.823 butir.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, pihaknya menangkap enam tersangka yang berinisial IDR, ARF, RNY, CF, ED dan GEO. Keenam tersangka diamankan saat melakukan transaksi di Tower Eboni, Kalibata City, Jakarta Selatan.

Dari enam orang tersangka yang berhasil ditangkap, kata Yusri, empat di antaranya merupakan residivis. Mereka berinisial RNY, CF, ED dan GEO. “Satu tersangka yang berinisial GEO meninggal dunia. Yang bersangkutan melakukan perlawanan dan mencoba kabur saat akan ditangkap,” kata Yusri.

Pada Maret 2020, lanjut Yusri, pihaknya menangkap 10 pelaku pencurian sepeda motor (curanmor). Para pelaku tersebut merupakan residivis dalam kasus yang sama. Bahkan diantara para tersangka ini ada yang sudah tiga kali keluar masuk penjara dalam kasus curanmor.

Atas fenomena ini, kata Yusri, pihaknya selalu berkoordinasi dengan pihak lembaga pemasyarakatan (Lapas), namun tetap saja terjadi setelah menjalani masa pemidanaan.

“Kami selalu berkoordinasi terkait kasus residivis ini. Bahkan selalu sosialisasi tetapi tetap saja melakukan kejahatan setelah ke luar dari penjara,” tukasnya.

Sosiolog dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta Hubertus Ubur mengutip hasil penelitian di Amerika Serikat (AS) beberapa puluh tahun lalu yang menyebutkan, bahwa penjara tidak membuat terpidana menjadi lebih baik tetapi sebaliknya penjara justru mendidik terpidana menjadi lebih jahat lagi.

“Apa dasar kesimpulan itu? Fakta yang terjadi dengan narapidana setelah ke luar dari penjara. Ternyata mereka kembali melakukan kejahatan bahkan lebih hebat dari kejahatan sebelum dipenjarakan. Apa artinya? Ada yang salah dalam proses kehidupan dalam penjara,” kata Hubertus.

Hubertus pun mengajak semua pihak menengok kuantitas narapidana di dalam Lapas mengingat tak sedikitnya kasus residivis yang merajalela di tengah masyarakat. Hal tersebut, sangat berpengaruh terhadap kualitas pembinaan untuk memasyarakatkan narapidana.

“Berbekal kualitas mental dan moralitas rendah si mantan napi masuk ke tengah masyarakat yang memberikan kepadanya banyak tantangan mulai dari penerimaan sosial sampai ke tantangan lapangan pekerjaan. Dia harus survive tanpa dukungan sosial masyarakat. Hal yang mustahil. Satu-satunya jalan untuk survive adalah jalan kejahatan. Toh jika tertangkap lagi paling balik ke penjara. Jika di penjara persoalan survival teratasi,” jelasnya.

Menurut Hubertus masyarakat berfungsi sebagai "penjara besar" bagi mantan narapidana melalui sikap yang tidak suportif. Mulai dari kecurigaan sampai tidak memberi ruang sosial. Akibatnya, mantan narapidana tidak bisa mengembangkan diri sebagai manusia yang layak dan bermartabat. Dalam hal ini, mantan narapidana hanya berpacu dalam situasi yang tidak memberikan kesempatan untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Hubertus juga mengkritisi sumber daya manusia pegawai Lapas yang tidak memadai. Ia pesimis para pegawai tersebut tidak bisa berfungsi sebagai pembina yang handal bagi para narapidana.

“Belum tentu mereka bisa berfungsi sebagai pembina yang handal, baik di bidang rohani-mental maupun keterampilan teknis sebagai persiapan narapidana ke lapangan kerja atau wirausaha setelah ke luar dari Lapas,” tukasnya.

Gagalnya Sistem Pembinaan

Hal senada diungkapkan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai, mantan narapidana kembali melakukan kejahatan cerminan kegagalan sistem pembinaan di Laps. Bahkan, kata Fickar, tak sedikit para petugas dalam lembaga tersebut dibina oleh para narapidana.

Terkait kembali berulangnya tindakan narapidana setelah ke luar penjara, Fickar mengatakan, tak terlepas dari pengaruh lingkungan dan pergaulannya. Kondisi tersebut diperparah terbatas dan sulitnya akses lapangan pekerjaan.

“Sehingga narapidana yang bebas cenderung mengulangi perbuatan kriminalnya,” katanya.

Dahulu, kata Fickar, pemidanaan melalui hukuman penjara dimaksudkan sebagai pembalasan dendam bagi para pelaku kejahatan. Tetapi perkembangan peradaban manusia konsep penghukuman penjara sebagai media pembinaan yakni rehabilitatif dan restoratif serta memperhatikan pemulihan terhadap korban kejahatan. Namun, ia pesimis dengan sistem pemidanaan penjara terhadap para pelaku.

Salah satu solusinya, membuka lapangan kerja untuk para mantan narapidana tersebut.

“Penjara bukanlah satu-satunya solusi mengatasi problem sosial kejahatan di masyarakat, harus ada langkah lain dari negara terutama yang berkaitan dengan lapangan kerja,” tegasnya.

Akan tetapi, dosen hukum pidana dari Universitas 17 Agustus Dr Junior B Gregorius ini menilai, setiap lembaga tak terkecuali Lapas pastinya memiliki kekurangan dan kelebihan. Pasalnya, kata Gregorius, para narapidana tersebut telah melalui proses pemidanaan baik dari tingkat penyidikan di kepolisian hingga penjatuhan pidana oleh hakim.

“Menurut saya, masalahnya kompleks,” kata Gregorius.

Gregorius menambahkan, salah satu alasan pelaku mengulangi perbuatan karena himpitan ekonomi. Pasalnya para narapidana ke luar dari penjara tidak mempunyai pekerjaan. Alasan itu menjadikannya kembali melawan norma hukum sebab cara tersebut dianggap lebih cepat mendapatkan uang untuk bertahan hidup.

“Secara kasatmata, fungsi pembinaan hanya berguna bagi orang yang sungguh niat bertobat, sedangkan yang ngambang menganggapnya sepele. Bahkan fungsi pembinaan menjadi tidak maksimal karena Lapasd overcapasity. Terlalu banyak terpidana dibanding fasilitas pembinaan dan jumlah pembina,” tegasnya.

Sementara di dalam Lapas, semua mantan narapidana diperlakukan sama di mata hukum untuk menjunjung tinggi supremasi hukum. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai alat formil yang dipakai untuk memastikan proses hukum terhadap para pelaku dengan tujuan utama untuk mendapatkan efek jera. Namun, ada sejumlah fakta lain terkait peranan penegak hukum yang membawa mereka ke proses hukum pidana.

“Padahal orientasi penindakan di dunia sudah banyak yang beralih ke restorative justice (memperbaiki hubungan di luar pengadilan). Dalam arti tidak perlu proses peradilan. Tetapi sebagian besar KUHAP berperan sebgai instrumen hukum menjadikan orang jera tentunya,” tukasnya.

Kabag Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) RI Rika Aprianti keberatan dengan opini yang menyebut pihaknya gagal membina mantan narapidana. Rika meminta supaya membaca kasus tidak secara parsial.

“Kalau dibilang gagal persentasenya seperti apa. Saya menanyakan kembali. Tentunya, jangan hanya karena oknum residivis ini, pembinaan yang lain yang berhasil, yang narapidananya kembali ke masyarakat dan menjadi narapidana yang baik tidak dihitung,” tegas Rika.

Rika mengklaim, tak sedikit mantan narapidana yang berhasil dan berkontribussi aktif saat kembali ke masyarakat. Rika mencontohkan salah satu mantan narapidana terorisme di Jogjakarta yang menjalankan bisnis Mie Ayam.

“Ada mantan warga binaan kami yang di dalamnya, dia engga bisa apa-apa. Pada saat dibina sama kami menjahit, di luar bahkan dia bisa umroh dan rekrut warga binaan lain untuk kerja,” katanya.

Namun Rika tidak menampik adanya oknum yang kembali melakukan kejahatan. Tetapi tidak boleh menafikan warga binaan lainnya yang kembali ke masyarakat dengan baik. Sejatinya, kata Rika, persoalan residivis adalah tantangan semua pihak, baik lembaga pemasyarakatan, aparat penegak hukum maupun masyarakat sendiri.

“Pada saat kembali ke masyarakat sudah tugas kita bareng-bareng. Ayo kita terima juga, kita bina juga, kita awasi juga bareng, kalau sudah kembali ke masyarakat. Hanya karena nila setitik, mereka yang baik-baik kembali ke masyarakat dicap yang sama, engga juga gitu dong. Engga adil kalau seperti itu,” pungkasnya.

Tag:

comments