Ancaman Demokrasi
search

Ancaman Demokrasi

Zona Barat
Ancaman demokrasi (Medium)

Politeia.id--Demokratisasi yang berjalan dengan asumsi bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat tidak hanya dilayani dengan baik. Namun juga diberikan ruang akses yang cukup dalam proses pengambilan keputusan. Salah satunya dalam pemilihan kepala daerah. Sehingga bupati yang dipilih oleh rakyat betul-betul sebagai representasi rakyat secara murni tanpa intervensi dan patronase pemerintah maupun uang (vox populi vox argentum—politik uang receh).

Maka harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya para bupati yang dipilih secara demokrastis.

Philippe C. Schmitter, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (1986), bahwa diperlukan kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik dan mampu memberikan layanan yang diperlukan oleh massa. Atau layanan yang diberikan dianggap tidak bernilai lagi atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam mayarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan.

Dalam konteks politik lokal, Manggarai misalnya, elite politik lokal dapat dilihat dalam tiga kategori. Pertama, elite berdasarkan pelapisan sosial yang terdiri atas tiga kelompok sosial, yaitu pemimpin adat (tu’a gendang/kepala suku) dan kerabatnya, kelompok orang yang merdeka/memiliki kebebasan, termasuk para petani dan buruh.

Kedua, elite berdasarkan charisma (elite strategis), yaitu tokoh agama. Ketiga, elite berdasarkan kegiatan fungsional, yaitu cendekiawan, usahawan, masyarakat sipil, wartawan.

Elite fungsional ini menempati elite strategis dalam piramida sosial. Dengan terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap lapisan sosial menyebabkan pengelompokan tersebut sangat menentukan demokrasi itu baik atau buruk.

Pandangan Michel Foucault, dalam Power/Knowledge: ed Interviews and Other Writing (1980), yang mencakup dua komponen kunci yakni politik wacana dan biopolitik. Dalam politik wacana, kelompok-kelompok marginal (yang tertindas) yang berusaha untuk menghadapi wacana-wacana hegemonik yang memposisikan individu-individu ke dalam “straitjacket” (pengekang) identitas-identias normal untuk melepaskan kebebasan bermainnya perbedaan-perbedaan.

Dalam masyarakat apapun wacana adalah suatu bentuk kekuasaan karena hukum-hukum yang mendeterminasi wacana memaksakan norma-norma yang dianggap rasional, sehat atau benar. Dengan demikian berbicara di luar hukum-hukum tersebut berisiko terpinggirkan dan terabaikan.

Dalam pandangan Foucault semua wacana dihasilkan oleh kekuasaan, tetapi mereka tidak tunduk total terhadapnya dan dapat menggunakannya sebagai titik tolak untuk menolak bahkan pijakan awal bagi suatu strategi perlawanan. Sebaliknya dalam biopolitik (bio struggle) entitas-entitas individual berusaha untuk memberontak dari cengkaraman kekuasaan disiplin dan menanam kembali tubuh (sebagai sebuah lembaga) dengan menciptakan model-model kesenangan dan kepuasan baru. Namun keduanya bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan bentuk-bentuk baru dari subjetifitas dan nilai-nilai.

Ancaman Demokrasi

Bangsa Indonesia yang kini sedang berposes berdemokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis. Karena kini kita tepat berada di “a crossroads of salvation or a path of destruction” (persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran). Bila proses demokrasi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa.

Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial tadi. Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan, bisa menjadi kenyataan.

Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai srigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya.

Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai”.

Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya. Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan.

Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.

Indonesia saat ini sedang menghadapi pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Indonesia sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic decay. Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional.

Contoh yang paling sederhana ialah ketika pada saat perdebatan calon bupati. Pasangan patahan mengklaim, kami kandidat yang paling baik, menguasai perdebatan, calon lain tidak punya pengalaman dalam pemerintahan, visi misinya kabur, tidak jelas.

Akibatnya lebih jauh, modal ekonomi (economic capital) dan modal sosial (social capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan dalam mengelola perekonomian, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin yang ada.

Indonesia yang dilanda krisis dewasa ini memerlukan kepemimpinan nasional/lokal yang ikhlas dan komit untuk berkorban dalam
semangat Samurai untuk membangkitkan spirit, aktivisme dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan reformasi total yang pada hakekatnya adalah menyelamatkan bangsa dan negara.

Para pemimpin generasi tua terbukti telah menyia-nyiakan kesempatan sejarah (historical opportunity) untuk mengimplementasikan enam visi reformasi yang sudah dipertaruhkan jutaan rakyat, mahasiswa dan kaum muda dengan darah dan airmata. Generasi tua saat ini ternyata sangat lembek, penuh intrik, saling sikut dan sarat pertarungan kepentingan (conflict of interest). Ujungnya adalah perebutan kekuasaan dan uang, dengan cara mendayagunakan ”konstitusionalisme” sebagai senjata legal formal untuk mempertahankan atau menjatuhkan kekuasaan.

Orde Baru Soeharto, kita tahu diruntuhkan oleh ”revolusi mahasiswa” pada tahun 1998, namun ternyata masih menyisakan ekses-ekses rezim Orbarian yang mencekam. Indonesia telah dinobatkan Transparency International dan PERC serta lembaga internasional lainnya sebagai negeri KKN dan negara paling korup di dunia.

Agenda reformasi ditelikung para politisi, pejabat, pengusaha dan kaum profesional yang sudah mengalami demoralisasi. Sisa-sisa ekses rezim Orbarian terus bertahan: KKN-Kroniisme merajalela, krisis utang yang sudah 100 persen dari Produk Domestik Bruto, beban rekapitalisasi triliun lebih, korupsi oleh aparat pemda dan DPR/D dan lain-lain, terus merosotnya nilai moral, krisis lingkungan yang tak kunjung usai, kenaikan harga sembako, kemiskinan bertambah, kesehatan masyarakat buruk, angka putus sekolah makin tinggi, infrastuktur dasar rusak, menjadi bayang-bayang kelabu bagi bangsa kita, kini dan ke depan.

Sementara sejauh ini, supremasi hukum atau kepastian hukum belum ditegakkan pemerintah dan yudikatif dalam upaya menciptakan keadilan, kepercayaan dan harapan masyarakat.

Demokrasi yang seharus menghasilkan solidaritas justeru membiarkan ekspansi pasar yang merusak solidaritas demokrasi. Demokrasi yang seharusnya melindungi pluralitas justeru membiarkan kekuatan religio politis yang mengancam pluralitas. Demokrasi yang seharus menghasilkan kesetaraan kondisi-kondisi justeru menghasilkan ketidaksetaraan.

Skandal-skandal ini terjadi karena demokrasi elektoral sulit mewujudkan definisi demos yaitu kratos oleh demos, karena demos dalam demokrasi elektoral direduksi menjadi voters (pemberi suara) dikendalikan oleh kekuatan oligarki atau oligarki liar. Di sinilah respublika berubah jenis kelaminnya menjadi resprivata (dari vox populi vox dei menjadi vox populi vox argentum).

Di belakang panggung demokrasi yang sesungguhnya bertarung adalah kekuatan oligarki yang mempengaruhi negara atau polis dengan uang. Partai-partai kartel akan berubah wajah demokrasi menjadi kolonisasi demokrasi (keynesian demokrasi). Demokrasi dijadikan pasar yang berakibat demokrasi itu loyal pada uang bukan pada respublika (dari homo democraticus ke homo economicus).

Dampak dari semua itu, pilar-pilar arsitektur republik ini tak lagi berfungsi ketika ia dikuasai oleh kekuatan tak tak tampak (potentia invisibilis) yaitu kekuatan rahasia (secret power) yang menguasai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahaya ke depan adalah apabila negara ini dikelola oleh kekuatan rahasia, para mafia, kartel, konsprasi, komplotan, persekongkolan, percaloan, yang semuanya anti respublika. Respublika menjadi urusan kekuatan gelap dari sebuah republik gelap.

Oleh karena itu dalam rangka memajukan demokrasi kita berusaha memilih pemimpin yang betul-betul pro rakyat bukan janji tapi kepastian. Kepastian hukum, kepastian ekonomi, kepastian kesehatan, kepastin pendidikan, kepastian politik dan sebagainya. Itu hanya diperoleh kalau rakyat sungguh-sungguh menjadi demos, bukan sebagai obyek demokrasi.

 

*) Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta

Tag:

comments