Setahun Jokowi-Ma`ruf: Resesi Demokrasi, Pelanggaran HAM Menyubur
search

Setahun Jokowi-Ma`ruf: Resesi Demokrasi, Pelanggaran HAM Menyubur

Zona Barat
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma`ruf Amien. Foto: Politeia.id/Setkab

Politeia.id--Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan berupa catatan dan evaluasi dalam peringatan satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tepat pada hari ini, Selasa (20/10). KontraS menilai selain mengalami resesi ekonomi, Indonesia juga sedang berada dalam ancaman resesi demokrasi.

“Berdasarkan pola serta catatan yang kami temukan, laporan ini kami beri judul Resesi Demokrasi. Judul ini kami maksudkan sebagai pengingat kepada masyarakat beserta Pemerintah, bahwa selain resesi ekonomi yang sudah ada di depan mata, Indonesia juga sedang berada dalam ancaman resesi demokrasi,” tulis laporan tersebut yang dilansir dari website resmi KontraS, sebagaimana dikutip Politeia.id, Selasa (20/10).

KontraS menjelaskan resesi demokrasi tersebut prosesnya sudah berlangsung sejak lama dan akan membahayakan kondisi demokrasi di Indonesia. Hal ini juga dinilai berpotensi menyuburkan pelanggaran HAM di Indonesia.

Beberapa asepek yang dipantau KontraS yang menunjukan Indonesia sedang mengalami resesi demokrasi, pertama, penyusutan ruang sipil, kedua, budaya kekerasan, ketiga, pengabaian agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat keempat, pelibatan aparat keamanan dan pertahanan pada urusan-urusan sipil, dan kelima, minimnya partisipasi publik dalam implementasi proses demokrasi yang substansial, yakni proses legislasi.

Disebutkan, dalam menarasikan ide tersebut, KontraS melakukan pemantauan selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin terhadap kelima fenomena tersebut melalui pemantauan media, pendampingan hukum, serta catatan advokasi kebijakan yang dilakukan oleh KontraS.

“Kemudian kami analisis menggunakan standar-standar HAM yang berkaitan dengan implementasi demokrasi.”

Soal penyusutan ruang sipil, KontraS menemukan dalam satu tahun terakhir terdapat 158 peristiwa pelanggaran, pembatasan, ataupun serangan terhadap kebabasan sipil yang terdiri atas hak asosiasi (4 peristiwa), hak berkumpul (93 peristiwa), dan hak berekspresi (61 peristiwa). KontraS juga menyebut Polisi sebagai aktor utama penyerangan terhadap kebebasan sipil.

Selain itu pandemi Covid-19 juga dijadikan alasan untuk memberangus ruang sipil, diantaranya melalui pembubaran aksi, dalam banyak peristiwa secara represif. Hal ini menunjukan bahwa Negara telah gagal dalam menyediakan akses yang efektif bagi masyarakat untuk mengkomunikasikan aspirasinya melalui jalur-jalur lain agar dapat mempengaruhi kebijakan negara, selain melakukan aksi massa.

“Terlebih, terdapat perkembangan metode serangan terhadap kebebasan berekspresi, yakni pembungkaman siber dalam bentuk peretasan, intimidasi, doxing, bahkan penyiksaan di ruang siber,” kata KontraS.

KontraS juga menyoroti soal penanganan pandemi Covid-19 yang tidak lepas dari pemenuhan dan perlindungan HAM yang tidak maksimal. Dalam beberapa peristiwa (Covid-19) dijadikan dalih untuk melanggar HAM, seperti kriminalisasi terhadap pengkritik sampai penghukuman tidak manusiawi terhadap pelanggar protokol kesehatan.

“Penanganan terhadap pandemi yang terlalu bertumpu kepada lembaga-lembaga keamanan, pertahanan, dan intelejen yang tidak memiliki kompetensi utama di bidang ini juga berdampak buruh tidak hanya pada penanganan pandemi, namun kondisi demokrasi Indonesia kedepannya,” jelas KontraS.

KontraS menyayangkan lambatnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan bagi pembela HAM. Dari segi perlindungan terhadap pembela HAM, dalam satu tahun terakhir KontraS menemukan pola yang terus berulang, yakni berlarutnya proses hukum terhadap pelaku penyerangan terhadap pembela HAM.

Terdapat 3 kasus yang disebut KontraS yakni dalam penanganan kasus Novel Baswedan, Golfrid Siregar, dan Ravio Patra. Ketiga kasus tersebut merupakan contoh penyerangan terhadap pembela HAM.

“Dalam aspek penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, tahun ini nyaris tidak ada kemajuan, dan dalam beberapa hal justru terjadi kemunduran,” beber Kontras.

Beberapa kasus pelanggaran berat yang dinilai mundur oleh kontraS diantaranya kasus dikembalikannya berkas penyelidikan peristiwa Paniai oleh Jaksa Agung kepada Komnas HAM, dinyatakannya deklarasi damai peristiwa Talangsari sebagai maladministrasi oleh Ombudsman, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, serta diangkatnya aktor-aktor pelanggaran HAM berat sebagai pejabat pemerintahan.

“Keseluruhan peristiwa ini menegaskan bahwa isu pelanggaran HAM berat bagi Joko Widodo hanya merupakan komoditas politik tanpa ada niatan untuk benar-benar menyelesaikannya,” tegas KontraS.

Dalam aspek budaya kekerasan, KontraS menemukan bahwa tingginya angka kekerasan yang muncul setiap tahunnya dari lembaga pertahanan dan keamanan. Mirisnya budaya kekerasan tersebut tidak pernah disambut dengan wacana mengenai reformasi kelembagaan untuk mengurangi peristiwa kekerasan. Sebaliknya justru disikapi dengan memperluas tugas, fungsi, dan pengaruh Polri dan TNI.

Dalam hal ini Polri memperluas otoritas dan pengaruhnya melalui penempatan anggota Polri pada jabatan di luar struktur Polri yang tidak berkaitan dengan urusan keamanan.

Misalnya dalam surat telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 tentang penegakan hukum terhadap penghina presiden/pejabat negara lainnya dan surat telegram STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang melarang aksi unjuk rasa dan memerintahkan jajaran Polri untuk melakukan kontra narasi terhadap kritik masyarakat terkait RUU Cipta Kerja,

“Melalui wacana pembentukan Pam Swakarsa melalui Peraturan Polri nomor 4 tahun 2020 tentang Pam Swakarsa yang memiliki sejumlah celah yang dapat berujung pada kekerasan, konflik horizontal, hingga digunakan untuk kepentingan politik praktis,” beber KontraS.

Sementara itu, TNI memperluas otoritas dan pengaruhnya melalui penerapan UU PSDN seperti perekrutan Komcad dan wacana pendidikan “wajib militer” yang kontraproduktif dengan kondisi kampus yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya nilai-nilai demokrasi.

Selain itu, KontraS menilai dalam pemerintahan Jokowi-Ma’aruf tidak diinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tata kelola pemerintahan terlihat jelas dalam proses legislasi. Alih-alih menjadi wadah penampung aspirasi publik, justru dijadikan metode untuk memuluskan ambisi investasi Pemerintah, yang terlihat jelas dalam pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja dalam suasana pandemi dan dengan pertisipasi publik yang sangat minim dan tidak substansial.

“Fenomena ini menegaskan pemaknaan negara atas demokrasi yang tidak lebih jauh dari momentum pencoblosan setiap lima tahun tanpa ada upaya untuk melibatkan publik secara lebih substansial dalam tata kelola pemerintahan untuk menjamin akuntabilitas serta terjaminnya kepentingan umum.”

“Atas dasar tersebut, kami menyimpulkan bahwa Indonesia tidak hanya sedang berada dalam ancaman resesi ekonomi, melainkan juga resesi demokrasi. Apabila terus berlanjut, kami mengkhawatirkan adanya pergeseran menuju tata kelola pemerintahan yang otoriter, yang merupakan ancaman terhadap HAM,” tutup KontraS dalam menilai genap satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’aruf.

Tag:

comments