Bupati Robi Idong, Kejari Sikka dan Anomali Penegakan Hukum
Politeia.id-Selalu menjadi anomali penegakan hukum. Jika setiap ada peristiwa pidana korupsi di Kabupaten Sikka terkait kebijakan pengelolaan keuangan daerah yang menimbulkan kerugian negara, lantas Bupati Robi Idong tidak pernah dipanggil untuk diperiksa atau didengar keterangan sebagai saksi dalam rangka mewujudkan pertangungjawaban pidana.
Alasannya, kedudukan seorang bupati dalam pengelolaan keuangan daerah, ia diserahi kekuasaan oleh presiden selaku kepala pemerintahan, pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara kepada bupati selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah (pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003,Tentang Keuangan Negara).
Dalam pelaksanaannya, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah oleh bupati/wali kota, dilaksanakan oleh:
a. Kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD; b. Kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah, yang masing-masing dengan tugas menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD, melaksanakan fungsi bendahara umum daerah dll.
Dengan struktur, fungsi, tugas dan tanggung jawab seorang bupati sebagaimana digariskan oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, maka sulit diterima akal sehat kalau setiap ada peristiwa korupsi yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah, penyidik kejaksaan abaikan bahkan tidak memeriksa bupati sebagai saksi korban sekaligus sebagai terduga pelaku korupsi.
Mengapa terduga korupsi, karena anatomi korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah, selalu terstruktur dan sistimatis, diawali dengan lampu hijau dari sang bos.
Budaya setor dari anak buah kepada atasan, atau atasan potong dana APBD lalu anak buah jadi tumbal, terima storan dengan sistem ijon dari kontraktor baik langsung atau lewat calo kepada bupati terjadi secara berantai, sistemik dan bahkan konon mengalir juga kepada oknum pimpinan kejaksaan.
Kejaksaan Panggil Robi Idong
Dalam kasus Dana Belanja Tidak Terduga (BTT) TA 2021 di BPBD Sikka, kejaksaan harus menjadikan Robi Idong sebagai orang pertama yang harus diperiksa dan didengar keterangannya karena kedudukan bupati adalah penanggungjawab utama pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Sikka, karena ia mewakili daerah yang menjadi korban kejahatan korupsi.
Sebagai pengelola Keuangan Daerah di Sikka, maka Robi Idong memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan kebijakan yang dituangkan dalam Perda APBD Sikka.
Tanggung jawab itu tidak hanya secara politik berupa membuat laporan pertanggungan jawab tahunan, setiap akhir tahun, terutama mengejar LHP WTP, akan tetapi juga tanggung jawab secara hukum di hadapan penyidik, JPU hingga di hadapan majelis hakim jika terjadi tindak pidana korupsi seperti halnya dalam kasus dugaan korupsi dana BTT.
Praktek penegakan hukum yang salah kaprah selama ini oleh Kejaksaan Negeri di Sikka, yaitu menempatkan Bupati Robi Idong sebagai "dewa", lalu Kejaksaan Negeri Sikka melakukan politik penegakan hukum dengan cara belah bambu atau loncat kodok (menginjak yang di bawah dan menyembah yang di atas sambil menyikut yang di samping).
Padahal pasal 34 UU No. 17 Tahun 2003, tegas menyatakan menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/wali kota dan SKPD yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan dan penyimpangan kegiatan APBD yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda serta sanksi administratif sesuai dengan UU.
Kebijakan yang dimaksud oleh pasal 34 UU No. 17 Tahun 2003 ini, adalah kebijakan yang tercermin pada manfaat yang harus dicapai dari program kementerian negara/lembaga negara/pemerintah daerah yang bersangkutan.
Ingat pesan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu bahwa presiden tidak akan kompromi dengan korupsi. Kasus dugaan korupsi proyek BTS di Kemen Kominfo, harus jadi rujukan Kejari Sikka.
Pola Tumbal Jadi Tren di Sikka
Praktek penegakan hukum di Sikka, hanya menjerat mereka yang berada di level SKPD ke bawah dan kontraktor untuk dijadikan tumbal. Itupun kalau masyarakat tidak berdarah-darah melakukan aksi demo, menjadi contoh konkrit anomali dalam penegakan hukum khususnya korupsi.
Praktek penegakan hukum model tumbal ini tentu sangat memalukan, karena kejaksaan itu representasi kekuasaan pemerintahan negara di bidang hukum, apalagi Presiden Jokowi berpesan tidak ada kompromi dengan koruptor, karena itu mestinya siapapun kejaksaan bisa sapu bersih dalam sekejap, termasuk terhadap Bupati Sikka Robi Idong, tapi mengapa ko loyo.
Artinya, begitu ada laporan atau informasi masyarakat tentang dugaan korupsi dalam pengelolaan APBD Sikka, maka Robi Idong menjadi orang pertama yang didengar keteranganya oleh penyidik, terlepas dari apakah ia terlibat atau tidak.
Alasannya, karena di dalam pasal 161 KUHAP, menyatakan bahwa yang pertama-tama diperiksa adalah saksi yang menjadi korban. Di sini, Robi Idong menjadi saksi mewakili Pemda Sikka sebagai korban kejahatan korupsi baik akibat perbuatannya sendiri maupun anak buahnya.
Dalah hal Robi Idong menjadi pelaku korupsi atau turut serta melakukan korupsi, maka kesaksian mewakili korban bisa didelegasikan kepada wakil bupati Jadi, dalam soal ini Robi Idong tidak bisa "one man show" dia terduga pelaku, dia saksi korban dan dia penentu kebijakan,("lala gai poi").
Kejaksaan selaku Pelaksana Kekuasaan Negara di bidang hukum, sangat digdaya berada di pundak Kejaksaan RI, kok Kajati Sikka beraninya hanya sama pegawai kecil, kontraktor-kontraktor yang hanya terima recehan-recehan, tulang belulang, setelah dagingnya diperas habis oleh sang pengelola anggaran daerah.
Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Advokat Perekat Nusantara
comments