Menyoal Anies Baswedan dan Embel Bapak Politik Identitas
search

Menyoal Anies Baswedan dan Embel Bapak Politik Identitas

Zona Barat
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan pimpinan FPI Rizieq Shihab (Harian Pijar)

Politieia.id-Para pendukung Anies Baswedan yang sering dicap sebagai `Bapak Politik Identitas` sering berkilah, apa salahnya politik identitas? Toh politik identitas sejak dahulu sudah menjadi instrumen politik, mengapa harus ditolak? Pikiran ini pun pernah diungkapkan oleh Surya Paloh.

Argumen ini ada benarnya, politik identitas bisa netral maknanya. Perjuangan menolak kolonialisme dulu, juga adalah bentuk lain dari politik identitas. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 juga merupakan bentuk lain dari politisasi identitas. Bahkan sampai saat ini pun secara netral hal itu masih digunakan.

Di kabupaten Ende sudah jadi tradisi bahkan semacam komitmen tidak tertulis bahwa pasangan cabup dan cawabup harus merupakan kombinasi dari Katolik dan Islam, Untuk provinsi NTT, pasangan cagub-cawagub merupakan kombinasi Katolik-Protestan atau sebaliknya. Itu adalah implementasi dari politik identitas juga, kalau mau secara jujur diakui.

Namun, itu sangat berbeda dengan politik yang dilaksanakan di masa Pilkada DKI 2017 yang lalu, yang kini menjadi bahaya bagi PIlpres 2024. Terminologi yang lebih tepat untuk menggambarkan bahaya itu bukan politik identitas an sich, namun lebih tepat adalah politik kebencian dengan basis identitas atau agama.

Yang ditolak adalah politik kebencian bukan identitas an sich. Adalah alamiah orang memiliki identitas berbeda dan adalah juga wajar identitas itu dijadikan acuan referensi politik namun orang tetap bersaudara bahkan bersahabat.

Yang terjadi jauh dari konsisi itu. Orang saling membenci, saling memfitnah, menyebar kebohongan bahkan menyerang secara fisik. Bahkan mayat pun menjadi korban kebencian. Politik seperti inilah yang ditolak.

Bangsa yang plural ini menjadi terpecah belah dan luka yang ditimbulkan oleh Pilkada DKI dulu hingga kini belum sembuh. Bahkan kini sangat terlihat akan dikapitalisasi sekali lagi dengan modus yang sama. Kebencian dan politik kebencian tidakpernah akan membawa persatuan dan kesejahteraan Karena basisnya sudah salah. Bahkan lebih jauh dari itu.

Politik kebencian berdasarkan identitas ini membuka ruang bertumbuhnya radikalisme berdasar identitas, tepatnya radikalisme agama. Yang menmbulkan radikalisme itu bukan identitas namun kebencian berdasarkan identitas. Itu yang harus ditolak.

Direktur Pencegahan BNPT, Brigjend achmad Nurwahid yang dalam pengakuannya pernah terpapar radikalisme agama ketika berpangkat kapten, dalam bincang bincang Kebangsaan Garda Nasional di museum nasional pada tanggal 19 november yang lalu menjelaskan, ciri-ciri penyebaran radikalisme agama adalah:

1. Monoloyalitas pada Amir atau pemimpin kelompoknya.

2. Menganut paham Takfiri: selalu mengkafirkan semua yang berada di luar kelompoknya, bahkan yang seagamapun jika bukn anggota kelompoknya juga di kafirkan.

3. Membentuk kelompok ekslusf yang sangat intoleran.

4. Anti segala bentuk kearifan lokal dalam budaya budaya lokal.

5. Anti pemerintah yang sah: anti demokrasi, menolak penghormatan pada symbol negara.

Kita bisa mengecek sendiri, adakah ciri ciri ini pada kelompok kelompok pendukung Anies Baswedan dalam PIlgub DKI terakhir yang kini juga menjadi pendukungnya sebagai Capres. Jika jelas ada, mstinya public paham, itulah sebabnya mereka ditolak.

Itulah sebabnya politik kebencian berdasarkan agama itu harus ditolak. Karena dia menumbuhkembangkan radikalisme berdasar agama yang bisa bemuara pada terorisme berbasis agama.

Untuk mengukur seberapa besar bahaya radikalisme dalam suatu negara ada sebuah indeks yang dijadikan acuan, yaitu Indeks Potensi radikalisme. Negara Suriah sebelum diporak porandakan oleh konfik internal berbasis agama, memiliki indeks potensi radikalisme sebesar 5 %. (Sofyan Tsauri dalam bincang bincang kebangsaan).

Karena masalah yang sebenarnya sepele saja, Suriah porak poranda hingga saat ini. Indonesia pernah memiliki indeks potensi radikalisme itu sebesar 52% pada tahun 2017, namun turun drastis setelah keluarnya UU Nomor 5 tahun 2018 pada tanggal 21 Juni 2018 yang memberikan wewenang pada Densus 88 untuk mengambil tindakan jika sudah terdapat ancaman, sebelum itu mereka tidak dapat mengambil tindakan sebelum ada aksi terror.

Sejak keluarnya UU tersebut, tercatat ada 1.200 rencana aksi terror yang dapat dicegah. Indeks potensi radikalismepun turun drastis walaupun saat ini masih di angka 12.2 % atau sekitar 33 juta rakyat yang terindikasi terpapar radikalisme agama.

Jika suriah dengan penduduk jauh lebih kecil dari kita, sudah porak poranda dengan angka potensi radilaisme 5 % bisa dibayangkan betapa sebenarnya kita tidak dalam keadaan aman aman saja. Bahaya itu masih di depan mata.

Dan bahaya itu akan makin nyata jika politik kebencian berbasiskan identitas tadi dibiarkan berkembang menuju pemilu dan pilpres 2024. Efek destruksi sosial daripilda DKI begitu besar padahal pilkada itu hanya dalam lingkup DKI saja. Impaknya kemana mana. Karena virus kebencian ini berkembang dengan cepat tidak dapat dilokalisir.

Bahaya ini tidak bersifat sesaat saja namun bertahan dalam waktu yang lama. Sekali lagi, itu ketika kita salah mengelola atau menata pilkada DKI Karena membiarkan ruang bagi politik kebencian itu untuk tumbuh dan berkambang. Bisa dibayangkan besarnya efek destruksinya jika ruang itu dibuka secara nasional dalam PIlpres 2024. Destruksi sosialnya akan terjadi di seluruh Indonesia hingga ke desa desa.

Variabel Anies Baswedan

Secara jujur saya mau mengatakan sangat sedikit indikator yang menyatakan bahwa Anies Baswedan adalah pendukung khilafah dan juga penganut paham radikalisme agama. Yang jelas dia didukung oleh kelompok kelompok tersebut. Ini tidak bisa dibantah.

Terakhir dalam deklarasi di Jogya, bertebaran bendera HTI dan Palestina. Dia juga hadir dalam acara alumni Timur tengah dimana ketuanya ustad Bachtiar Nasir dengan lantang mengatakan bahwa di tahun 2024, akan ada presiden baru dan khilfah akan bekuasa saat itu. Ini juga fakta.

Namun hampir tidak ada fakta bahwa Anis sendiri menyatakan bahwa dia adalah penganut Khilafah juga tidak ditemukan indikasi bahwa kebijakannya selama jadi Gubernur DKI adalah kebijakan kebijakan yang berpijak pada pemikiran khilafaism.

Walau ada rumor yang mengatakan sejumlah dana pemda DKI digunakan untuk membantu organ organ penganut Khilafah. Hal ini selain belum terbukti, juga seandainya benar pun belum bisa dijadikan bukti bahwa dia adalah penganut khilafah.

Dia juga menurut saya belum terbukti melaksanakan politik kebencian berbasiskan identitas yang disebut diatas. Satu satunya catatan minor adalah bahwa dia sebagai intelektual tidak menolak, melarang para pndukungnya menjalankan politik kebencian tersebut dan malah menikmati kemenangan Karena itu. Dalam konteks DKI, dia berhak menang namun kita menolak caranya menang.

Jadi sebagai capres 2024, dia juga harus ditolak karena membuka ruang bagi politik kebencian berbasis identitas tersebut dalam pilpres, dengan bahaya nyata sebagaimana telah diuraikan diatas.

Penulis sendiri mempunyai alasan lain sebenarnya, namun bukan Karena persoalan ideology bahwa dia adalah penganut khilafah, namun lebih Karena incompetensinya sebagai leader. Uraian tentang ini akan saya tulis di lain kesempatan.

Oleh: Ignas Iryanto, peneliti Senior pada Risk Consultant group
.

 

Tag:

comments