Wajah Perempuan dalam Demokrasi Kontemporer
search

Wajah Perempuan dalam Demokrasi Kontemporer

Zona Barat
Wajah Perempuan dalam Demokrasi Kontemporer. Foto: Ilustrasi

Politeia.id--Era desentralisasi dan otonomi daerah seringkali dipahami sebagai suatu model pendekatan politik transformatif yang ingin mendekatkan peran pemerintah kepada masyarakat. Pendekatan ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa desentralisasi memberi ruang bagi pemerintah lokal untuk memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh atas daerahnya. Sehingga program pembangunan terasa begitu riil oleh masyarakat karena prosesnya begitu dekat dengan masyarakat lokal.

Di sisi lain, desentralisasi merupakan sebuah prakter politik yang terkesan sangat ambisius. Sebab memberi tontontan akan kultur kekuasaan lokal yang sarat akan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menciptakan budaya politik dinasti.

Ketika adanya pelimpahan wewenang kepada daerah, khususnya di daerah yang akar budaya patriarkinya kuat, bisa diduga, budaya juga ikut merambat masuk dalam pola pemerintahan yang terbentuk.

Satu dekade belakangan ini, gencar sekali disuarakan soal emansipasi, baik pada tataran pusat hingga ke daerah. Menanggapi isu tersebut, dirancang dan diimplementasikanlah peraturan mengenai peranan perempuan dalam pusaran politik dengan keterwakilan perempuan 30 persen kaum perempuan di Parlemen.

Gagasan bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki sudah ada sejak abad ke-4 SM. Masyarakat Yunani kuno menempatkan perempuan sebagai sosok yang inferior. Itu mengapa setiap ada pemilihan umum, perempuan tidak pernah dilibatkan. Perempuan dianggap tidak memiliki rasionalitas seperti laki-laki

Awal mula munculnya gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan era pencerahan renaissance) di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Perancis pada 1792, berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.

Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.

Menjelang abad ke-19, feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai "universal sisterhood".

Perkembangan aliran feminis muncul diberbagai belahan dunia dengan semangat yang hampir sama yakni kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Di Nusantara juga gerakan emansipasi bisa dilihat dari surat-surat R.A. Kartini yang dibukukan menjadi buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Semangat R.A. Kartini sampai saat ini terasa sampai disetiap pelosok negeri sebagai sebuah semangat kebersamaan para wanita Indonesia untuk bisa unjuk gigi, menunjukan bahwa perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah setara baik dalam hak maupun kewajiban. Para wanita pun pantas dan layak untuk terjun dalam dunia politik, sosial,budaya dan berbagai aspek kehidupan yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria.

Dalam setiap pemilihan umum (pemilu), seringkali dipertontonkan kepada masyarakat melalui baliho-baliho wajah tampan para peserta pemilu tanpa adanya wajah cantik berbalut lipstik dan bertabur make up. Wajah-wajah cantik mulai secara perlahan menunjukan batang hidungnya dalam kompetisi 5 tahunan tersebut. Kepercayaan diri untuk maju dan berkontribusi bagi bangsa dan megara mulai terlihat. Tokoh-tokoh wanita pun bermunculan. Sebut saja Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wali Kota Surabaya Tri Rismharini dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Desentralisasi politik lokal hari ini, seharusnya mampu menggagas dan menginisiasi pendekanan pembangunan berbasis hak hak perempuan. Ini tidak boleh hanya sebatas wacana politik semata sebab kaum perempuan dalam perspektif peradaban demokrasi merupakan satu unit kemanusiaan yang sangat penting untuk memperkuat demokratisasi lokal. Kaum perempuan terhubung dengan kuat ke dalam pusat-pusat kebutuhan publik. Kelalaian politik terhadap nasib perempuan akan memiskinan legitimasi pemerintah lokal (Regus, Max, 2015:103).

Seringkali terlihat jelas di daerah, khususnya di wilayah NTT, eksistensi kaum perempuan untuk terlibat dalam politik lokal masih sangat minim. Budaya patriarki yang sangat kental merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kaum perempuan tersisih dari pusaran politik lokal.

Dalam Theorizing Patriarchy, Walby mendefinisikan patriarki sebagai struktur sosial dan prakteknya dimana laki-laki mendominasi, mengoperasiakan dan mengeksploitasi perempuan. Ia juga mengidentifikasikan adanya enam struktur patriarki yaitu produksi rumah tangga, pekerjaan yang dibayar, negara, kekerasan laki-laki, seksualitas dan budaya yang bersama-sama berperan untuk dapat menangkap kedalam, kegunaan dan keterlibatan subordinasi perempuan (Walby, 1990:201).

Keterlibatan 30 persen kaum perempuan dalam politik hanya sebatas politik pencitraan kaum lelaki. Namun di wilayah NTT, masih sangat kecil bahkan jauh dari 30 persen soal partisipasi kaum perempuan dalam politik. Mengapa hal ini bisa terjadi dan mengakar? Salah satunya adalah faktor budaya.

Di sisi lain, adanya egoisme dari kaum pria untuk tetap bertengger pada tangga kekuasaan dan masih tertanam kuat bahwa gen pria lebih mampu mengurus persoalan politik ketimbangan kaum perempuan. Hal ini menutup jalan bagi kaum perempuan untuk menunjukan eksistensinya. Apalagi kalau hal tanpa adanya penerimaan secara kultural.

Mendekatkan Peran Perempuan dalam Leading Sector

Selain itu kebijakan mengenai kaum perempuan yang banyak diformulasikan pada era desentralisasi ini berfokus pada penyediaan pelatihan dan peralatan pendukung untuk melatih perempuan dalam aktivitas rumah tangga seperti memasak, menjahit, dan aktivitas domestik lainnya. Isu-isu krusial terkait rumah tangga seperti kesehatan reproduksi dan kekerasan dalam rumah tangga tidak tersentuh. Para perempuan tidak mendapatkan dukungan untuk berperan dalam aktivitas publik guna memenuhi kepentingan mereka.

Maka dari itu pentingnya untuk merangkul kaum perempuan untuk mengambil bagian dalam setiap sektor-sektor penting sebab di era revolusi 4.0 sekarang ini sudah begitu banyak kaum perempuan yang potensial untuk dilibatkan dalam urusan rumah tangga daerah.

Untuk meminimalisir persepsi pemarjinalan kaum perempuan, perlu adanya akses yang sama baik untuk kaum laki-laki dan kaum perempuan untuk berkontribusi, baik dalam politik, sosial, ekonomi, hidup bermasyarakat. Pada lingkup desentralisasi pemerintah lokal, perlu adanya "gender budgeting" yang tidak hanya sebatas pada alokasi finansial yang besar, melainkan lebih pada kontrol dan pengaruh yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan anggaran yang diputuskan. Hal ini membantu mengubah kebijakan anggaran menjadi responsif gender untuk meningkatkan gender equality.

Disposisi pemimpin pada tingkat lokal untuk mengaktualisasikan peranan kaum perempuan dalam posisi strategis pada tataran pemerintah lokal seperti keberanian untuk menunjuk kaum perempuan untuk menjadi lurah atau camat pada beberapa tempat. Dan hal ini bisa diwujudnyatakan apabila pemerintah lokal yakin akan kualitas dan kapasitas dari kaum perempuan yang ada di daerah tersebut.

Kaum perempuan juga perlu dilibatkan dalam setiap perhelatan demokrasi yang nantinya akan memegang peranan penting dalam setiap pengambilan keputusan politik pada tingkat lokal, semisalnya mau ambil bagian sebagai calon legislatif ataupun eksekutif agar tidak selalu dimonopoli oleh kaum pria semata. Khususnya di wilayah NTT, perlu adanya sebuah legitimasi baik secara kultur maupun politik terkait ekspresi politik dan partisipasi politik kaum perempuan, memang sangat sulit untuk diterapkan sebab akan muncul benturan atau beban kultural yang dihadapi ketika konsep ini ingin diimplementasikan.

Keterlibatan perempuan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah kemudian memangkas legitimasi kultural tentang posisi seorang perempuan dalam diskursus perpolitikan. Salah satu contoh yang bisa diamati langsung adalah munculnya seorang perempuan di tengah unsur kedigdayaan kaum laki laki dalam untuk menjadi calon bupati dalam prosesi Pilkada di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) tahun 2020 ini. Hal ini patut di apresiasi mengingat pelibatan kaum perempuan dalam kontestasi pemilihan umum masih belum mendapat tempat yang seimbang dengan laki-laki.

 

Rafael Yolens Putera Larung, pegiat demokrasi

 

Tag:

comments