Vonis Ringan Kasus JAI Sintang, Lembaga Peradilan Dinilai Jadi Momok Menakutkan Kasus KBB
search

Vonis Ringan Kasus JAI Sintang, Lembaga Peradilan Dinilai Jadi Momok Menakutkan Kasus KBB

Zona Barat
Vonis Ringan Kasus JAI Sintang, Lembaga Peradilan Dinilai Jadi Momok Menakutkan Kasus KBB. Foto: Istimewa

Politeia.id --Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menilai vonis ringan terhadap 21 pelaku pengrusakan Masjid Miftahul Huda milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Bale Harapan, Sintang dari rasa keadilan masyarakat dan tidak memberi efek jera apapun bagi pelaku.

Menurut Petrus, sebagai lembaga peradilan yang berpijak pada UUD 1945, kepolisian, jaksa penuntut umum dan hakim seharusnya mengkonstruksikan kasus pengrusakan Masjid Miftahul Huda dan pembakaran rumah warga komunitas Ahmadiyah Sintang sebagai peristiwa pidana atau kejahatan SARA.

"Dasar hukumnya adalah ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2008,Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 39 Tahun 1999, Tentang HAM dan pasal 82A jo. pasal 59 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Ormas di samping pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP, karena beberapa Ormas sesungguhnya telah melakukan tindakan yang menjadi wewenang aparat Penegak Hukum dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai kejahatan SARA." kata Petrus dalam keterangannya, Senin (17/1).

Petrus menegaskan, proses penyidikan dan penuntutan yang syarat kompromi bahkan konspiratif, telah merendahkan wibawa hukum, kedaulatan negara dan prinsip negara hukum. Sebab, dalam peristiwa pidana atau kejahatan SARA, mereka mengkonstruksikan menjadi peristiwa pidana biasa dengan menerapkan pasal sangkaan dan dakwaan melanggar pasal 160 dan pasal 170 ayat (1) KUHP demi mengabaikan kejahatan SARA dan HAM. 

"Ini jelas merupakan sebuah model konspirasi dalam penegakan hukum dengan menerapkan pasal-pasal yang tidak ada korelasinya dengan substansi peristiwa pidana yang terjadi yaitu adanya tindakan permusuhan oleh sekelompok orang atau ormas terhadap sekelompok masyarakat lainnya atas dasar suku, agama, ras atau golongan secara brutal dan sewenang-wenang dengan mengambialih wewenang penegak hukum," beber Petrus.

Menurut Petrus, tindakan perusakan bangunan, mengancam keselamatan nyawa manusia dan secara melawan hukum meniadakan hak atas kebebasan komunitas Muslim Ahmadiyah dalam menjalankan Ibadah agama dan kepercayaannya, seharusnya diperhadapkan dengan ancaman pidana berat. Hal ini dicantum dalam pasal 82A UU No.16 Tahun 2017 tentang Ormas, berupa pidana penjara maksimum 20 (dua puluh) tahun, UU Nomor 39, Tahun 1999, Tentang HAM dan UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Dalam kasus ini, sambung dia, aparat penegak hukum seolah-olah alergi dan gamang ketika berhadapan dengan kasus-kasus SARA. Dengan demikian, dalam penegakan hukumnya nampak memberi angin segar kepada kelompok pelaku, berupa penerapan pasal pidana biasa, dituntut dan divonis dengan  pidana ringan. Selain itu, mengabaikan pasal pelanggaran UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU HAM, UU Ormas dan UU Penodaan Agama.

"Vonis kasus kekerasan atas sekelompok masyarakat atas nama agama terhadap kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan keagamaan (minoritas) atau kasus-kasus penodaan agama terhadap agama minoritas, dengan vonis penjara ringan dalam kasus terdakwa Yahya Waloni dan kasus Masjid Ahmadiyah Sintang, memperlihatkan betapa negara belum bersikap adil dan bijaksana terhadap kelompok agama minoritas di negeri ini," tegasnya.

Petrus menambahkan, negara justru berada dalam posisi mengingkari komitmennya. Negara baru bisa menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya, tetapi negara belum bisa memberikan jaminan atas kemerdekaan untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannyaannya. Seperti pada kejahatan persekusi, intoleransi dan tindakan vigilante masih terus terjadi terhadap kelompok agama minoritas.

Padahal, lanjut dia, konstitusionalitas jaminan atas kebebasan unuk memeluk agama dan kepercayaan itu setara dengan jaminan atas kemerdekaan melaksanakan ibadah agama dan kepercayaannya itu.

"Tidak ada gunanya jika negara hanya menjamin warganya untuk bebas memeluk agama dan kepercayaan tetapi negara abai memberikan jaminan kemerdekaan bagi warganya untuk menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu," kata Petrus.

Penjatuhan hukuman yang jauh dari rasa keadilan publik terutama para korban dalam kasus SARA, merupakan pertanda buruk dimana sejumlah aparatur di dalam lembaga peradilan diduga telah terpapar ideologi intoleran dan radikal.

"Indikatornya adalah pada sikap memihak dan toleran para hakim terhadap pelaku kejahatan SARA, intoleran dan vigilante selama proses hukum, sebagaimana terbukti dari vonis ringan pelaku kejahatan SARA di Sintang dan kejahatan ujaran kebencian terhadap terdakwa Yahya Waloni yang hanya divonis 5 (lima) bulan penjara," pungkasnya.

Tag:

comments