Temuan Ombudsman Berpotensi Jadi Bumerang Soal Pengaduan Novel Baswedan Cs
search

Temuan Ombudsman Berpotensi Jadi Bumerang Soal Pengaduan Novel Baswedan Cs

Zona Barat
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Foto: Politeia.id

Politeai.id -- Ombudsman RI (ORI) telah menerima laporan atau pengaduan perwakilan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif tentang dugaan pelanggaran administrasi atau maladministrasi, yang diduga dilakukan oleh pimpinan KPK dan BKN terkait kebijakan tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai pelaksanaan dari Perkom Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.

Merespons laporan 75 pegawai KPK dimaksud, ORI telah melakukan serangkaian pemeriksaan substantif dan menemukan tindakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari prosedur sebagai pelanggaran administrasi atau maladministrasi pada tiga fokus isu utama, yaitu: pertama, rangkaian proses pembentukan kebijakan (Perkom No. 1 Tahun 2021, Tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN); kedua, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN; dan ketiga, tahap penetapan hasil assesmen TWK.

Tugas dan wewenang ORI menurut UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI dan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai Hukum Acara bagi ORI, yaitu "Mengawasi Penyelenggaraan  Pelayanan Publik", maka tiga fokus isu dimaksud tidak masuk dalam ruang lingkup kewenangan ORI, untuk memeriksa dan mengeluarkan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) dan Rekomendasi.

Alasannya, karena obyek pemeriksaan yang menjadi kewenangan ORI seperti diatur di dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, hanya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik, serta pelayanan administratif.

Karena itu, berdasarkan ketentuan pasal 26 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, yang mengatur bahwa "dalam hal berkas laporan sebagaimana dimaksud pasal 25 dinyatakan lengkap, ORI segera melakukan pemeriksaan substantif. Berdasarkan pemeriksaan substantif, maka ORI seharusnya menetapkan "tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan", namun ORI justru memilih melanjutkan pemeriksaan", sehingga menabrak kewenangan lembaga negara lainnya. 

Pertanyaannya sekarang, apakah tiga fokus isu utama ORI masuk dalam ruang lingkup wewenang ORI yaitu pelayanan barang publik, jasa publik dan administrasi publik menurut pasal 5 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik atau tidak. 

Jawabannya tidak, karena soal rangkaian proses pembentukan Perkom Nomor tahun 2021 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, yang berwenang menguji dan menilai secara materil dan formil menurut ketentuan pasal 24A UUD 1945 ayat (1) merupakan wewenang Mahkamah Agung yang mengadili pada tingkat kasasi.

Juga dalam pasal 31 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, dikatakan bahwa "Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bahwah UU terhadap UU dan menyatakan tidak sah peraturan perundang -undangan di bawah UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku."

Selain itu,  pasal 19 ayat (1) dan  (2) UU No.30 Tahun 2014,Tentang Administras Pemerintahan, menegaskan bahwa :

Ayat (1) : Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan  dengan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat  (2) huruf a dan pasal 18 ayat (1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (2) huruf c dan pasal 18 ayat (3), dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ayat (2) : Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukan wewenang sebagaimana dimaksud dalan 17 ayat (2)    huruf b dan pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Senjata Pamungkas Pasal 19 UU Nomor 30 Tahun 2014

Karena itu, penilaian ORI terhadap dua isu utama lainnya, yaitu "Pelaksanaan  Peralihan Pegawai KPK menjadi ASN"; dan "Tahap Penetapan Hasil Assesmen Tes Wawasan Kebangsaan", sebagai telah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh KPK dan BKN, sebagai sikap yang prematur, karena pasal 19 UU No. 30 Tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan, secara tegas menyatakan bahwa Keputusan atauTindakan yang ditetapkan/dilakukan dengan sewenang-wenang, tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selain itu,  dua isu utama lainnya itupun tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan ORI, karena, berdasarkan pasal 31, 32 dan 33 UU No. 5 Tahun 2014, Tentang ASN, hal itu merupakan Tugas dan Wewenang KASN, terkait pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN pada pemerintah dengan wewenang merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang berwenang lainnya yang melanggar prinsip Sistem Merit. 

Berdasarkan ketentuan UUD 1945, UU Mahkamah Agung, UU Administrasi Pemerintahan yang satu nafas dalam memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji secara formil, materil dan menyatakan tidak sah sebuah peraturan perundang-undangan di bawah UU, maka baik LHAP ORI maupun Rekomendasinya yang nantinya akan dikeluarkan, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara hukum.

Alasannya karena pernyataan telah terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang dalam proses Perkom No. 1 Tahun 2021 dan Pelaksanaan TWK, dinyatakan sebagai tidak sah, belum dilakukan uji materil dan formil oleh Mahkamah Agung.

Dengan, maka ORI akan diperhadapkan pada penilaian dan tuntutan telah melakukan tindakan Maladministrasi yaitu bertindak melampaui wewenang, sewenang-wenang, dan/atau mencampuradukan wewenang sehingga baik LHAP maupun Rekomendasinya kelak menjadi bumerang bagi ORI, karena tidak memiliki kekuatan hukum apapun.

Padahal kata kuncinya itu terletak pada ketentuan pasal 26 UU No. 37 Tahun 2008, Tentang ORI, yang mengatur bahwa : "dalam hal berkas laporan sebagaimana dimaksud pasal 25 dinyatakan lengkap, ORI segera melakukan pemeriksaan substantif dan  berdasarkan pemeriksaan substantif, maka ORI dapat menetapkan : a. Tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; dan b. Berwenang melanjutkan pemeriksaan", namun kenyataan ORI mengabaikan opsi butir (a) dan lebih memilih butir (b) yaitu melanjutkan pemeriksaan. 

Terdapat Misi Negara dalam Pelayan Publik

Mencermati LAHP ORI, terdapat kesan kuat bahwa ORI mengesampingkan atau mengabaikan faktor "Misi Negara" di dalam setiap kebijakannya terkait Pelayanan Publik, dimana di dalam pasal 5 ayat (3) c UU Pelayanan Publik diatur tentang "Misi Negara" dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, di  situ dijelaskan bahwa Misi Negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak (publik). 

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi calon Pegawai KPK menjadi ASN, harus dipandang sebagai "Misi Negara" yang berkenaan dengan tugas dan fungsi KPK dalam menyelenggarakan Pelayanan Publik, yang melekat dalam kegiatan yang berkenaan dengan proses melahirkan ASN, karena ASN yang bakal dihasilkan adalah ASN yang benar-benar menghayati dan mampu mengaktualisasikan prinsip ASN yang berlandas pada Nilai Dasar; Kode Etik dan Kode Perilalaku; Komitmen; Integritas Moral, Tanggung jawab; Kompetensi; dll menyangkut kepentingan strategis nasional. 

Kenyataannya, ORI dalam menanggapi Laporan/Pengaduan 75 Pegawai KPK non aktif, telah mengabaikan "Misi Negara" dan Menyalahgunakan Wewenang untuk tujuan lain di luar fungsi dan tujuan ORI. Begitu juga ORI seharusnya patut menduga bahwa di dalam proses alih status Pegawai KPK menjadi ASN, ada wewenang "Komisi Aparatur Sipil Negara" (KASN), terkait manajemen dan proses rekrutmen ASN menurut pasal 31, 32 dan 33 UU No. 5 Tahun 2014, Tentang ASN dan juga ada wewenang Mahkamah Agung, terkait uji materiil dan uji formil Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021, soal TWK yang oleh ORI dianggap sebagai menyalahi prosedure dan wewenang.

Perkom Nomor 1 Tahun 2021 VS Perkom Nomor 12 tahun 2018

Penyimpangan yang ditemukan menurut ORI berupa "Pimpinan KPK tidak menyebarluaskan Rancangan Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021, ke dalam sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan dan 6 (enam) kali rapat harmonisasi hingga pada pengesahan rancangan peraturan KPK", sehingga dinilai ORI sebagai telah menyimpang dari Perkom No. 12 Tahun 2018, Tentang Produk Hukum KPK, yaitu kewajiban mengumumkan Rancangan Produk Hukum ke dalam sistem informasi internal KPK, sebelum Produk Hukum tersebut disahkan menjadi peraturan resmi KPK. 

Pada tahap ini, ORI tidak jeli melihat perbedaan Produk Hukum KPK antara Peraturan KPK (Perkom) dan Peraturan Pimpinan KPK, karena pada Perkom, ia  adalah Produk Peraturan Perundang-Undangan yang kekuatan mengikatnya ke luar (mengikat publik), sehingga syarat wajibnya adalah "memperhatikan aspirasi atau pendapat masyarakat luas" (bukan aspirasi Pegawai KPK), sedangkan Peraturan Pimpinan KPK, karena statusnya bukan Peraturan Perundang-Undangan, yang sifat mengikatnya hanya berlaku ke dalam (internal) KPK, maka sosialisasi, saran dan usul dari Pegawai KPK wajib diperhatikan.

Peraturan KPK No. 1 Tahun 2021, tidak memerlukan sosialisasi di internal KPK, karena ketentuan pasal 17 ayat (4) Peraturan KPK No. 12 Tahun 2018 sendiri menyatakan bahwa, "dalam hal rancangan Produk Hukum berbentuk Peraturan Komisi yang berdampak ekseternal, wajib memperhatikan aspirasi/pendapat masyarakat" (bukan asprasi Pegawai KPK), meskipun menurut temuan ORI, bahwa rancangan Perkom No. 1 Tahun 2021 itu terakhir kali disosialisasikan ketika masih berada di tahap awal, artinya sosialisasi itu ada.

Pemeriksaan ORI di luar Lingkup Pelayanan Publik

Hukum Acara Ombudsman sesungguhnya terletak pada UU No. 25 Tahun 2009, Tentang Pelyanan Publik. Karena itu ruang lingkup tugas pengawasan pelayanan publik oleh ORI hanya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, UU No. 30 Tahun 2014, Tantang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 37 Tahun 2008, Tentang Ombudsman RI dan peraturan perundang-undangan lainnya).

Ruang lingkup Obyek Pelayanan Publik, (UU No. 25 Tahun 2009, Tentang Pelayanan Publik), pasal 5 ayat (1) bahwa : ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan "barang publik" dan "jasa publik" serta "pelayanan administratif" yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; ayat (2) ruang lingkup sebagaimana diatur pada ayat (1) meliputi : pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Dengan demikian baik pengumuman LHAP ORI maupun Rekomendasi ORI yang akan dikeluarkan, jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 19 UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang mensyaratkan bahwa "tindakan melampaui wewenang", "mencampuradukan wewenang" dan "bertindak sewenang-wenang" dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Karena itu, ORI patut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang, berupa telah mencampuradukan wewenang, melampaui wewenang dan bertindak sewenang-wenang sebagai perbuatan yang dilarang oleh pasal 17 UU No. 30 tahun 2014, Tentang Administrasi Pemerintahan.

Tag:

comments