Hari Buruh Sedunia, Perempuan Buruh Tuntut Perlindungan dan Upah Layak
search

Hari Buruh Sedunia, Perempuan Buruh Tuntut Perlindungan dan Upah Layak

Zona Barat
Unjuk rasa tolak Omnibus UU Cipta Kerja. Foto: Suara.com

Politeia.id -- Memperingati Hari Buruh Sedunia, Sabtu (1/5), Solidaritas Perempuan bersama dengan perempuan buruh menuntut pekerjaan yang layak dengan upah layak, perlindungan sosial dan tempat kerja yang aman tanpa kekerasan dan pelecehan untuk semua buruh.

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura mengatakan, pekerjaan yang layak bukanlah sebuah istilah yang abstrak. Namun ini merupakan kepentingan politik bagi perempuan buruh atas peluang kerja yang memenuhi hak asasi manusia, kebebasan fundamental, martabat dan kesetaraan.

Kata Dinda, pekerjaan yang layak merupakan hak asasi manusia yang fundamental, termasuk bagi perempuan buruh migran, perempuan buruh tani hingga perempuan buruh sawit, sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

"Jaminan ini meliputi pengakuan hak-hak dasar di tempat kerja, pendapatan yang mencukupi kebutuhannya dan keluarganya, perlindungan sosial bagi buruh dan keluarganya, serta kebebasan berserikat," kata Dinda dalam keterangan pers kepada Politeia.id, Sabtu (1/5).

Namun, menurut Dinda, realitas yang dihadapi oleh perempuan buruh masih jauh dari standar hak asasi manusia ini. Terlebih bagi buruh tani, buruh sawit maupun buruh migran yang merupakan sektor-sektor rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan.

"Perempuan buruh tani merupakan wujud dari gagalnya reforma agraria yang dimandatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria," kata dia.

Menurut Dinda, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin parah hingga mengakibatkan banyak petani tidak memiliki tanah dan petani gurem. Selain itu, banyak juga terjadi konversi lahan dari fungsi pertanian ke fungsi lainnya seperti penanaman tanaman industri oleh korporasi.

Belum lagi perempuan buruh tani yang seringkali mengalami diskriminasi upah karena gendernya. Mereka harus berhadapan dengan ancaman kehilangan pekerjaan karena pemilik tanah tempatnya bekerja tergiur menjual tanahnya untuk dialihfungsikan menjadi non pertanian.

Beberapa kasus itu, kata Dinda, terjadi di desa Kekeri, Mambalan dan Griya, Lombok. Masifnya alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan maupun pertokoan mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan perempuan buruh tani. Di Kalimantan Tengah, perempuan buruh tani juga terpaksa menanggung kerugian akibat penyeragaman benih yang dipaksakan dan pada akhirnya mengancam ketahanan pangan keluarga buruh tani.

Alih fungsi lahan pertanian warga juga terjadi untuk kepentingan perkebunan skala besar seperti sawit maupun tebu. Seringkali disertai dengan perampasan tanah yang mengakibatkan konflik agraria berkepanjangan seperti yang terjadi di desa Seri Bandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan dan Takalar, Sulawesi Selatan.

"Jika pun terpaksa beralih pekerjaan menjadi buruh perkebunan sawit ataupun tebu, ancaman terpapar pestisida, pelanggaran hak ketenagakerjaan dan kondisi kerja tidak layak, hingga ancaman mengalami pelecehan dan kekerasan seksual pun terus mengintai," katanya.

Menurutnya, kesejahteraan dan keleluasaan kerja yang selama ini dinikmati saat memiliki tanahnya sendiri pun berganti dengan penindasan yang dilakukan oleh mandor hingga perusahaan perkebunan yang serakah.

Kehilangan sumber kehidupan dan sulitnya menjadi buruh perkebunan tak jarang mendorong perempuan untuk bermigrasi kerja ke luar negeri. Pilihan itu diambil dengan harapan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya.

Namun pada akhirnya, perempuan buruh migran harus menjalani pekerjaan yang berbahaya dan rentan dengan bayaran yang rendah dan tidak tetap, jam kerja yang terlalu panjang, waktu istirahat yang kurang dan dikecualikan dari sistem jaminan dan perlindungan sosial.

Data penanganan kasus yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan, perempuan buruh migran masih mengalami diskriminasi, kondisi kerja yang tidak manusiawi, berbagai bentuk pelanggaran hak hingga kekerasan fisik dan seksual serta trafficking.

"Di banyak negara, pekerja rumah tangga tidak diakui sebagai pekerja yang mengakibatkan mereka terkecualikan dari perlindungan hukum atau akses terhadap keadilan," ungkapnya.

Dinda menambahkan, krisis COVID-19 baru-baru ini semakin memperburuk ketidaksetaraan struktural dan sistemik ini. Pandemi telah mempengaruhi perempuan buruh secara spesifik, memperburuk kondisi kerja, pemutusan hubungan kerja yang salah, kondisi hidup yang buruk tanpa kecukupan pangan dan kebutuhan dasar, akses terbatas ke layanan medis, hingga akses terhadap air dan sanitasi yang semakin tidak terjangkau akibat privatisasi.

Alih-alih bekerja untuk menyelamatkan rakyatnya, Pemerintah justru secara ugal-ugalan memfasilitasi kepentingan investasi dengan mendorong Omnibus Law UU Cipta Kerja yang meminggirkan perlindungan lingkungan maupun hak-hak dasar warga negara.

"Regulasi seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja maupun Proyek Strategis Nasional merupakan tindakan negara yang tidak demokratis karena mengabaikan suara rakyat dan mandat konstitusi untuk melindungi kepentingan warga
negara," jelasnya.

"Ini juga sekaligus merupakan pola pembangunan yang patriarkis karena mengeksploitasi lingkungan dan mengabaikan hak asasi manusia hanya untuk atas nama pertumbuhan ekonomi. Tentu pola semacam ini akan semakin memperburuk situasi perempuan buruh yang ada dalam lapisan penindasan dan ketidakadilan.”

Tag:

comments