Dua Tokoh Nasional Asal NTT Daniel Dhakidae dan Umbu Paranggi Berpulang, Ini Profilnya!
search

Dua Tokoh Nasional Asal NTT Daniel Dhakidae dan Umbu Paranggi Berpulang, Ini Profilnya!

Zona Barat
Daniel Dhakidae (kiri) dan Umbu Paranggi (kanan) berpulang pada Selasa (6/4). Foto: Kolase/Politeia.id.

Politeia.id -- Dua tokoh nasional asal Nusa Tenggara Timur (NTT), Daniel Dhakidae dan Umbu Landu Paranggi dikabarkan meninggal dunia secara bersamaan pada Selasa (6/4) pagi.

Dari informasi yang diterima Politeia.id, Daniel Dhakidae meninggal akibat serangan jantung di Rumah Sakit MMC Kuningan, Jakarta dalam usia 76 tahun.

Sempat dibawa ke rumah sakit untuk dirawat pada sekitar pukul 03.00 WIB, putra Toto-Wolowae ini akhirnya menghembuskan napas terakhir beberapa jam kemudian, tepatnya pada pukul 07.24 WIB.

"Telah berpulang dengan damai anggota YEF Dr. Daniel Dhakidae pagi ini di RS MMC Kuningan Jakarta pada pukul 07.24 WIB. Setelah mengalami serangan jantung tadi malam pukul 03.00 WIB pagi di rumah dan dilarikan ke rumah sakit," tulis sebuah pernyataan resmi.

Sementara itu, Umbu Paranggi meninggal di Rumah Sakit Bali Mandara Selasa pagi. Penyair kawakan asal Sumba Timur itu meninggal dalam usia 77 tahun.

Kabar kematian penyair yang bergelar "Presiden Malioboro" ini disampaikan langsung oleh Komunitas Maiyah Kenduri Cinta Jakarta.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Duka Kami, mengantarmu ke huma yang sejati Bapak Umbu Landu Paranggi," tulis Kenduri Cinta di akun Twitternya.

Profil Daniel Dhakidae

Melansir Enbe Indonesia, Daniel Dhakidae adalah pemikir dan jurnalis senior kelahiran Toto-Wolowae, Nagekeo, 22 Agustus 1945.

Ia meraih gelar Ph.D di bidang pemerintahan dari Department of Government, Cornell University, New York, Amerika Serikat, tahun 1991.

Daniel merampungkan sebuah disertasi dengan judul "The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry."

Disertasi tersebut mendapat penghargaan the Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University, karena telah "memberikan sumbangan luar biasa bagi perkembangan ilmu."

Daniel sebelumnya meraih gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara dari Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (1975) dan Master of Arts bidang Ilmu Politik dari Cornell University AS (1987).

Selama hidupnya, Daniel membaktikan dirinya bagi ilmu pengetahuan dan jurnalisme di Indonesia.

Ia pernah menjadi Kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas sejak 1994 sampai dengan 2006.

Di samping itu, Daniel juga didapuk sebagai redaktur majalah Prisma (1976); Ketua Dewan Redaksi Prisma (1979-1984); dan Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES, 1982-1984).

Daniel telah dianggap sebagai tokoh yang "menghidupkan" kembali jurnal pemikiran sosial ekonomi Prisma dengan duduk sebagai Pemimpin Redaksi (sejak 2009) merangkap Pemimpin Umum (sejak 2011).

Banyak buku ditulis antara lain "Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru" (2003) dan bersama Vedi Renandi Hadiz menyunting buku bertajuk "Social Science and Power in Indonesia" (2005).

Tahun 2015, Daniel Dhakidae mengeluarkan buku terakhirnya berjudul "Menerjang Badai Kekuasaan".

Selain aktif di media, Daniel Dhakidae juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Yayasan Tifa dan pernah duduk di Dewan Pengarah yayasan.

Profil Umbu Paranggi

Umbu Wulang Landu Paranggi atau akrab disapa Umbu Paranggi lahir di Sumba Timur, 10 Agustus 1943.

Umbu merupakan lulusan SMA BOPKRI Yogyakarta dan meraih gelar sarjana dari Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Janabadra Yogyakarta.

Umbu Paranggi termasuk dalam kalangan seniman besar Indonesia yang setara dengan mendiang Sapardi Djoko Damono. SDD telah lebih dulu berpulang tahun lalu.

Umbu Paranggi sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an.

Namanya dikenal melalui karya-karyanya berupa esai dan puisi yang dipublikasikan di berbagai media.

Sosoknya disebut sebagai tokoh di balik nama besar sastrawan seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Linus Suryadi A.G, Linus Suryadi AG, Eko Tunas.

Dia tidak saja menjadi guru bagi Cak Nun, dkk, tapi ketelatenannya turut membesarkan para sastrawan ini.

Umbu Paranggi mengayomi anak-anak muda untuk belajar menulis puisi, tapi ia sendiri seperti ingin menjauhi eksistensi sebagai penyair.

Menurut pengakuan murid-muridnya, Umbu Paranggi seperti terlalu curiga pada popularitas kepenyairan.

Dalam cerita yang ditulis Cak Nun, Umbu Paranggi merupakan satu-satunya orang yang pernah mendapat gelar Presiden Malioboro dari media.

Umbu Paranggi akhirnya meninggalkan Yogyakarta dan memilih tinggal di Bali hingga akhir hayatnya.

Atas pengabdiannya pada sastra, Umbu Paranggi mendapat penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra pada tahun 2020.

Tahun 2019, bersama arsitek Yori Antar, Umbu Paranggi mendapatkan Penghargaan Akademi Jakarta atas pencapaiannya di bidang humaniora.*

Selamat jalan maestro media dan sastra!

Tag:

comments