Vox Point Indonesia Pertanyakan Keadaban DPR Soal RUU Pemilu
search

Vox Point Indonesia Pertanyakan Keadaban DPR Soal RUU Pemilu

Zona Barat
Vox Point Indonesia mempertanyakan keadaban pemerintah dan DPR yang menolak merevisi UU Pemilu atau RUU Pemilu. (Foto: Ist)

Politeia.id -- Vox Point Indonesia mempertanyakan keadaban pemerintah dan DPR yang menolak merevisi UU Pemilu atau RUU Pemilu. Organisasi Kader Katolik itu meminta perancang kebijakan negara untuk secara serius memikirkan beban penyelenggara pemilu ketika seluruh pesta demokrasi dilangsungkan dalam satu tahun yang sama.

“Parpol yang sebelumnya setuju dengan pelaksanaan Pilkada di tahun 2022 dan 2023 tiba-tiba menginginkan Pilkada diadakan bersama dengan Pileg, Pilpres tahun 2024. Hal ini yang menjadi pertanyaan publik selama ini,” kata Ketua Umum Vox Point Indonesia Yohanes Handojo Budhisedjati dalam diskusi bertajuk Akrobatik Parpol di Balik Revisi UU Pemilu, Sabtu (13/2).

Sebelumnya salah satu agenda revisi UU Pemilu adalah mengubah jadwal Pilkada serentak 2024 menjadi 2022 dan 2023. Rencana pembaruan terhadap undang-undang membuat sikap partai politik terbelah.

Namun setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan agar Pilkada digelar serentak pada 2024, sejumlah fraksi yang semula mendukung revisi pun balik badan. Kini tersisa Demokrat dan PKS yang kukuh agar RUU Pemilu dilakukan.

Handojo menjelaskan hal ini akan menjadi pekerjaan berat bagi KPU baik dari sisi teknis, administrasi, prosedur, waktu hingga soal ketatanegaraan. Apalagi, kata Handojo, perhelatan Pilpres 2019 menelan banyak korban, angkanya bahkan lebih dari 400 petugas.

“Kabar buruknya dipersatukannya perhelatan demokrasi adalah tampak sebagai pertimbangan dan strategi politik semata daripada administrasi negara,” tegasnya.

Hal serupa diungkapkan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus. Ia mengatakan penolakan dan dukungan terkait RUU Pemilu dilatarbelakangi hitung-hitungan partai politik dalam menerapkan strategi Pemilu 2024. Padahal, revisi UU Pemilu perlu dilakukan karena begitu banyak catatan dan evaluasi. 

Lucius menyoroti adanya partai politik yang bermanuver dalam beberapa pekan terakhir terkait sikap terhadap RUU Pemilu. Menurut dia, hal tersebut wajar terjadi karena parpol akan berhitung agar kepentingan politiknya bisa diakomodasi.

"Jadi selalu yang membuat proses revisi UU Pemilu itu menjadi lama karena apa yang kemudian direvisi itu terkait strategi pemenangan partai," jelasnya.

Selain itu, ia menduga bahwa parpol, baru menghitung strategi pemenangan setelah RUU Baleg menetapkan RUU Pemilu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Keputusan RUU Pemilu yang masuk dalam Prolegnas, kemudian langsung ditanggapi dengan berbagai manuver yang dilakukan parpol.

"Makanya masing-masing fraksi mulai melakukan perhitungan peluang yang mereka bisa peroleh dengan rencana RUU Pemilu. Termasuk melihat peluang menyatukan niat merevisi UU Pilkada sekaligus dalam UU Pemilu yang akan dilakukan," terangnya.

Narasumber lain diskusi itu adalah Direktur Indobarometer Muhammad Qodari. Alih-alih memikirkan kepentingan rakyat, ia mengatakan pembahasan revisi UU Pemilu terjadi karena kepentingan partai politik.

“Jadi ada partai-partai menengah, atau partai-partai besar yang memperbesar kekuasaannya di Parlemen dengan cara konstitusional,” katanya.

Hal itu, lanjutnya, dilakukan dengan cara menaikkan parlemen threshold dan mengecilkan jumlah kursi di daerah pemilihan (dapil). Karena itu, katanya, yang terjadi merupakan sebuah pertarungan politik dan tawar menawar antara partai politik yang ingin menaikan parlemen threshold dan partai yang tidak.

“Kalau parlemen threshold naik, maka partai kecil nanti keluar. Mereka akan bertahan dengan memasukkan pasal-pasal yang mengganggu atau merepotkan kepentingan-kepentingan partai besar,” kata Qodari.

Sementara itu Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti menjelaskan revisi UU Pemilu merupakan sebuah keharusan. Menurutnya proses revisi tersebut dapat dilakukan kapan saja baik saat ini atau setelah 2024 nanti.

“Menurut saya, mau tidak mau harus direvisi. Karena banyak sekali aturan-aturan yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya akibat pengaturan dan pelaksanaanya tumpang tindih,” katanya.

Ia menambahkan kalaupun UU Pemilu direvisi sebaiknya tidak dilakukan dengan terburu-buru. Ia meminta agar perlu berkaca pada proses revisi UU yang efek negatifnya berdampak hingga saat ini yakni revisi UU KPK, UU MK, UU Minerba dan Omnibus Low.

Tag:

comments