Rupiah Tetap Perkasa
search

Rupiah Tetap Perkasa

Zona Barat
Ilustrasi rupiah

Politeia.id -- Nilai tukar Rupiah menguat di tengah imbas pandemi COVID-19 sejalan dengan ketahanan ekonomi nasional.
Pasca pandemi pada Maret 2020, Rupiah melemah menjadi Rp16.500 terhadap dolar AS, namun pulih kembali sejak April, dan mencapai Rp13.956 pada 8 Juni 2020.

Mata uang kembali melemah pada bulan Juni hingga awal November, menyentuh Rp14.985 di bulan September. Sejak November, Rupiah diperdagangkan pada kisaran Rp14,00-14,200.

Pada Selasa (9/2), rupiah menembus level psikologis Rp14.000 terhadap dolar AS, menguat ke level Rp13.900. Namun rupiah terbantu oleh prospek stimulus AS dan paket bantuan virus corona senilai US$1,9 triliun.

Presiden AS Joe Biden dan Kongres yang dikuasai Demokrat akan meluncurkan rencana belanja besar-besaran yang mencakup tambahan cek US$1.400 untuk warg Amerika dan peningkatan tunjangan pengangguran. Sementara itu, kenaikan upah minimum federal tampaknya tidak akan dibahas untuk saat ini.

Minat pasar terhadap rupiah juga didukung oleh meningkatnya sentimen investor terhadap aset berisiko tinggi seiring dengan ekspektasi stimulus fiskal oleh AS. Stimulus tersebut mendorong ekspektasi atas pemulihan ekonomi.

Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (Bank Indonesia/B.I.), Mengklaim rupiah cenderung menguat dan relatif stabil di level rata-rata Rp14.000. Secara fundamental, kata dia, rupiah masih memiliki ruang untuk terapresiasi lebih lanjut terhadap dolar AS, sejalan dengan inflasi dan neraca transaksi berjalan yang rendah.

Neraca perdagangan yang berada dalam tren surplus juga mendukung nilai tukar rupiah. Perry memproyeksikan surplus perdagangan sebesar US$8,3 miliar untuk triwulan keempat tahun 2020, dibandingkan dengan US$2,1 miliar pada triwulan sebelumnya. Perry mengatakan investasi asing diperkirakan tumbuh dua kali lipat tahun ini, di mana investasi di portofolio mencapai US$19,6 miliar.

Imbal hasil (yield) surat utang negara (jangka waktu 10 tahun) turun menjadi 6,1%, sedangkan yield surat utang AS naik menjadi 1.139%. Hal ini pula yang menjadi alasan investor asing menanamkan modalnya di portofolio Indonesia. Per 5 Februari 2021, investor asing membukukan beli bersih Rp30,22 triliun. Di saham, mereka membukukan beli bersih Rp14,29 triliun per Selasa (9 Februari).

Namun penguatan Rupiah akan terhambat oleh faktor lain seperti penurunan penjualan eceran pada Januari 2021 seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah di Jawa dan Bali. Kondisi cuaca buruk (banjir) dan gempa bumi saat ini turut mempengaruhi kinerja indeks penjualan eceran. Namun demikian diharapkan penjualan ritel pada Januari 2021 tetap terjaga dan meningkat secara tahunan.

Sementara obligasi syariah pemerintah, yang ditawarkan melalui lelang pada Selasa, menarik penawaran masuk sebesar Rp26,10 triliun, tetapi pemerintah hanya memenang Rp12 triliun. Investor asing juga tertarik untuk masuk ke pasar Indonesia karena negara ini telah meluncurkan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Perekonomian Indonesia perlahan membaik seiring kontraksi yang menyempit.

 

Tag:

comments