DPR Minta Pemerintah Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2020
Politeia.id -- Komisi II DPR RI meminta pemerintah perlu segera mengevaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang tetap dilaksanakan meski diterpa pandemi virus corona, 9 Desember lalu.
Seruan evaluasi pelaksanaan Pilkada 2020 ini merupakan hasil kerja Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR yang baru dibentuk pekan lalu.
Panja tersebut bertujuan untuk menindaklanjuti persoalan-persoalan pada pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan di 270 kabupaten/kota dan 9 provinsi.
Anggota Komisi II DPR Agung Widyantoro mengatakan, evaluasi Pilkada 2020 mesti dilakukan karena terdapat sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah calon kepala daerah di berbagai daerah di tanah air.
Ada beberapa masalah penting yang dicatat DPR terkait pelanggaran Pilkada, antara lain masalah akurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), netralitas ASN, politik uang, dan lemahnya koordinasi antarlembaga penyelenggara Pemilu.
Lembaga penyelenggara Pemilu yang dimaksud, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"Terkait dengan penghitungan maupun pelanggaran-pelanggaran yang di ada di berbagai daerah kita serahkan ke lembaga yang berkompeten untuk bagaimana memproses masalah ini," ujar Agung dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (27/1).
Anggota Fraksi Partai Golkar itu menandaskan bahwa evaluasi Pemilu mendesak dibuat agar bisa menghasilkan Pemilu yang berkualitas di negara demokrasi modern.
Selain itu, untuk menjadikan Pilkada sebagai platform yang bisa menghasilkan kepala daerah yang berintegritas di masa depan.
"Harapan kami, kita menghasilkan pemimpin daerah yang legitim (melalui Pilkada), yang dihasilkan oleh keterpilihan masyarakat," katanya.
Ketua Bawaslu Abhan sebelumnya mengungkapkan sejumlah temuan pelanggaran selama Pilkada 2020.
Bentuk pelanggaran pertama berupa politik uang yang tercatat sebanyak 166 dugaan pelanggaran.
Dari 166 pelanggaran tersebut sebanyak 76 dugaan pelanggaran politik uang sudah naik ke tingkat pengadilan.
"Sementara itu, 31 masih diteruskan ke penyidik 96 dihentikan oleh pengawas karena tidak memenuhi unsur terpenuhi," kata Abhan, Selasa (19/1).
Pelanggaran terkait politik uang diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang menyebutkan putusan dan sanksi adalah diskualifikasi.
Proses diskualifikasi, kata Abhan, ditangani oleh Bawaslu Provinsi, meskipun kejadian di kabupaten/kota.
Selain politik uang, jenis pelanggaran lain yang terjadi selama Pilkada yaitu pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik di jajaran ad hoc, pelanggaran pidana dan hukum lainnnya.
Tercatat ada sebanyak 1.489 pelanggaran administrasi, 288 pelanggaran kode etik jajaran ad hoc , 179 pelanggaran pidana, 1.562 pelanggaran hukum lainnya.
Sementara untuk persoalan netralitas ASN, ditemukan 484 kasus ASN memberikan dukungan kepada salah satu paslon di media sosial, 150 kasus menghadiri sosialisasi partai politik.
Selain itu, ada 103 kasus melakukan pendekatan ke parpol, 110 kasus mendukung paslon tertentu dan sebanyak 70 kepala desa mendukung salah satu paslon di Pilkada.
Di sisi lain, KPU menyebutkan terdapat sebanyak 123 permohonan perselisihan hasil pemilu (PHPU) dalam Pilkada 2020.
Adapun rinciannya, 1 pemilihan gubernur, 13 pemilihan wali kota, dan 109 pemilihan bupati.*
comments