DPR Minta Pembangunan Geo Park Pulau Rinca Tetap Perhatikan Habitat Komodo
search

DPR Minta Pembangunan Geo Park Pulau Rinca Tetap Perhatikan Habitat Komodo

Zona Barat
Desain pembangunan Geo Park di Pulau Rinca. Foto: Dok. Kementrian PUPR.

Politeia.id -- Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin meminta pemerintah harus tetap memperhatikan kelestarian ekosistem alam dan habitat reptil purba Komodo dalam agenda pembangunan pariwisata di Pulau Rinca, Kawasan Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Pembangunan di Pulau Rinca merupakan bagian dari proyek ambisius Presiden Joko Widodo untuk menjadikan pariwisata Labuan Bajo sebagai wisata super premium.

Pembangunan tersebut menggunakan konsep "Geo Park", sebuah adopsi dari konsep Jurassic Park, wilayah terpadu yang mengedepankan perlindungan dan penggunaan warisan geologi dengan cara yang berkelanjutan.

Dengan konsep itu, penataan dan pengembangan kawasan Pulau Rinca tidak mengganggu habitat Komodo.

"Membangun resort, membangun hotel, bahkan kita dengar bahwa (pembangunan) ini banyak yang bermain. Artinya, seakan akan aturan ini cenderung untuk kepentingan bisnis," ujar Andi di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (25/1).

Andi merujuk pada laporan investigasi yang dilakukan Majalah Tempo beberapa waktu lalu, menyebut bahwa pemerintah berikhtiar menjadikan TNK sebagai wisata eksklusif bertarif US$1.000 atau setara Rp14,5 juta.

Dalam laporan Tempo edisi 2 Januari 2021, masyarakat khawatir pembangunan di kawasan TNK hanya diperuntukkan bagi usaha besar dan berpotensi mengabaikan usaha warga lokal.

Majalah Tempo menyebutkan bahwa Pulau Rinca digarap oleh PT Segara Komodo Lestari yang memiliki konsesi lahan seluas 22,1 hektar.

Izin terbit konsesi lahan itu merujuk pada Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ata nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tertanggal 17 Desember 2015.

Di Pulau Rinca, akan dibangun 7 unit vila rimba 1 kamar tidur; 7 unit vila rimba 2 kamar tidur; 2 unit restoran; dan 2 unit kios atau pusat belanja.

Menurut data Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pembangunan di Pulau Rinca menelan biaya Rp69,96 miliar.

Rinciannya adalah Rp21,25 miliar untuk pembangunan sarana dan prasarana; Rp2,41 miliar pembangunan reservoir; dan Rp46,3 miliar untuk pembangunan pengamanan Loh Buaya.

Masih dalam kawasan integrasi pembangunan TNK, pemerintah juga membangun pariwisata di Pulau Komodo, Pulau Padar dan Pulau Tatawa.

Di Pulau Komodo, pemerintah menunjuk PT Komodo Wildlife Ecotourism melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan tertanggal 23 September 2014.

Luas konsesi lahan mencapai 151,94 hektar dari 32.169 hektar luas Pulau Komodo.

PT Komodo Wildlife Ecotourism juga mengelola pembangunan di Pulau Padar dengan konsesi 274,13 hektar. Investasi untuk pembangunan ini mencapai Rp669,2 miliar.

Di Pulau Tatawa, pemerintah menunjuk PT Synergindo Niagatama dengan konsesi 15,32 hektar. Investasinya mencapai Rp1,78 triliun.

Di Pulau Tatawa rencananya akan dibangun 25 unit pondok wisata tunggal (50 meter persegi); 2 unit kolam bilas publik; 12 unit pondok wisata ganda 100 meter persegi; 3 unit pondok wisata 3 kamar tidur 150 meter persegi; 1 unit restoran dan klub 200 meter persegi; dan 1 unit minibar.

Andi menekankan bahhwa ikhtiar pembangunan Pulau Rinca dan kawasan TNK harus diarahkan untuk membangun ekosistem alamiah sebagai upaya pelestarian reptil Komodo.

"Jadi kita sarankan agar kawasan Rinca ini kan kawasan khusus untuk Komodo," tegas Anggota Fraksi PKS asal Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Darori Wonodipuro menambahkan, pembangunan di Pulau Rinca bisa menggabungkan model pembangunan in-situ dan ex-situ.

Hal itu penting dilakukan agar keanekaragaman hayati dan Komodo tetap terlestari.

Model pembangunan in-situ, kata dia, menekankan pemeliharaan alam yang sudah ada agar tetap terjaga.

Sementara model ex-situ dilakukan dengan membangun habitat buatan di daerah pembangunan.

"Karena di sana banyak juga Komodo yang liar, bagaimana di Pulau Rinca dilakukan kombinasi pelestarian antara in-situ dan ex-situ," katanya.

Komisi IV mendorong agar pembangunan dilakukan tetap memperhatikan ekosistem alami agar dapat menciptakan kenyamanan baik bagi wisatawan maupun Komodo.

Sebelumnya, anggota Komisi V DPR Johan Rosihan mempertanyakan analisis dan konsep pembangunan infrastruktur pariwisata di Pulau Rinca kepada pemerintah.

Menurut Johan, pemerintah harus menyadari bahwa lahan pembangunan tersebut merupakan daerah konservasi sehingga berpotensi mengganggu kehidupan satwa.

"Sekali lagi saya tegaskan bahwa kepentingan pariwisata tidak boleh mengalahkan urgensi menjaga Kawasan konservasi," katanya dikutip dari Antara, 24 November 2020 lalu.

Johan juga meminta jaminan kepada seluruh pihak terkait bahwa pembangunan tersebut tidak merusak keaslian habitat Komodo.

Johan menekankan, agar pemerintah menjadikan infrastruktur berperan sebagai pendukung pelestarian spesies purba berserta habitatnya serta berdampak bagi perekonomian nasional.

Di sisi lain, peneliti Sun Spirit for Justice & Peace Labuan Bajo Venansius Haryanto meminta agar pemerintah mengkaji kembali terkait rencana pembangunan "Jurasic Park" di Pulau Rinca.

"Kami meminta bahwa dikaji ulang dulu dengan melibatkan ahli, lalu organisasi-organisasi lingkungan, lalu para pelaku wisata juga dan masyarakat setempat agar kemudian kita bisa memutuskan yang mana yang bisa dilanjutkan, dan mana yang bisa dihentikan," kata Venansius dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR dan akademisi, aktivis, dan Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores Desember 2020 lalu.

Venansius menyoroti soal investasi swasta dan BUMN untuk bisnis resort, kuliner, dan jasa wisata di sejumlah lokasi strategis seperti Pulau Rinca, Pulau Padar, Pulau Komodo, dan Pulau Tatawa.

Ia meminta DPR agar mendesak pemerintah untuk mencabut izin yang sudah dikeluarkan dan menghentikan proses pemberian izin baru.

"Apa sih kontribusi resort ini bagi konservasi dan bagi pariwisata alam? Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi, bukan ruang investasi. Komodo bertahan hidup karena alam bukan karena saham," papar Venansius.

Peneliti muda itu juga mengkritik desain wisata ekslusif premium berbayar US$1.000 untuk Pulau Komodo, dan wisata massal untuk Pulau Rinca.
Dengan konsep itu, pada 2019 lalu pemerintah hendak merelokasi warga Komodo ke pulau lain, yaitu ke Pulau Rinca.

Tahun 2020 pemerintah setempat berencana akan memindahkan UMKM di Long Liah Pulau Komodo ke Loh Buaya Pulau Rinca.

"Kami meminta DPR untuk mendesak pemerintah menghentikan rencana yang merugikan masyarakat Komodo ini," pintanya.

Seorang warga asli Komodo yang juga hadir dalam RDPU dengan Komisi IV, Akbar Al Ayub, meminta agar DPR mendesak pemerintah memberikan pengakuan kebudayaan dan hak agraria sebagai Suku Modo atu disebut Ata Modo.

Ia meminta agar pemerintah mendirikan komunitas kebudayaan Suku Modo di Pulau Komodo yang dipadukan dengan wisata alam sebagai identitas Suku Modo di Pulau Komodo.

Dari penelitian Verheijen yang terbit tahun 1987, terungkap betapa Suku Modo (Ata Modo), begitu mereka sebut diri mereka sendiri, memiliki bahasa mandiri, lengkap dengan susastra lisan penyampai mitologi, yang telah bebas dari pengaruh bahasa Manggarai di Flores maupun bahasa Bima di Sumbawa, NTB.

Dalam catatan Seno Gumira Ajidarma pada Pidato Kebudayaan 10 November 2019, tampak bahwa meskipun bahasa Komodo menyerap bahasa-bahasa Manggarai, Bima, Indonesia, Bajau, dan Kambera (Australia), tetap sangat banyak kata-kata asli Komodo, terutama untuk nama geografi, tumbuhan laut, dan hewan laut.

Bahasa Komodo ini secara umum tidak dikuasai oleh orang luar Komodo, sementara orang Komodo menguasai semua bahasa lain itu.

Orang Komodo sendiri menyebut Komodo dengan `Ora`, yang arti padanannya tidak terdapat dalam bahasa Indonesia sekalipun. Bagi mereka, kata `komodo` bukanlah `ora` tersebut.

Dengan hasil penelitian ini, maka bahasa, susastra lisan, dan secara lengkap kebudayaan Suku Modo ini wajib dilindungi oleh negara.

Untuk itu, selain membentuk komunitas budaya, Akbar mendesak KLH memperkuat konservasi dan pariwisata berbasis alam dan komuitas.

"Secara konkret kami meminta DPR untuk mendesak KLHK menaikkan anggaran Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) yang saat ini hanya Rp20 miliar per tahun, lebih kecil dari pembangunan APBN untuk pembangunan trotoar di Labuan Bajo, menjadi Rp100 miliar," harapnya.

Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina merespons adanya kekhawatiran relokasi warga asli Komodo ke daerah lain. Ia mengatakan tidak ada lagi rencana untuk pemindahan desa di Komodo.

"Bahkan yang didesain ke depan adalah bagaimana wisata desa yang dikelola masyarakat desa yang jadi keunggulan berwisata ke Taman Nasional Komodo, tidak hanya melihat Komodo tapi juga berinteraksi dengan masyarakat di dalam desa kawasan," terangnya.*

Tag:

comments