Harga Sawit Meroket, Dorong Volatilitas Harga Tahun Ini
Politeia.id -- Harga minyak sawit diperkirakan mencapai rata-rata 2.800 Ringgit (US$694,96) per ton tahun ini, tertinggi sejak 2012, dibandingkan dengan 2.685 Ringgit tahun lalu, menurut estimasi 18 analis dan pelaku industri, Malaysia Today melaporkan pada Kamis (21/1).
Kontrak patokan minyak sawit Malaysia dimulai tahun ini di level tertinggi hampir satu dekade di 3.800 Ringgit (US$940,13) karena kekurangan pasokan minyak nabati global.
Dengan meroketnya harga sawit, dua negara produsen sawit terbesar dunia, yaitu Malaysia dan Indonesia (mencapai 85%), diperkirakan akan pulih dan mendorong volatilitas harga tahun ini, yang kemungkinan akan naik ke level tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Menurut jajak pendapat Reuters terhadap 18 pelaku industri dan analis, disebutkan bahwa produksi Malaysia diperkirakan akan meningkat 2,4% atau 19,6 juta ton selama paruh kedua tahun ini.
Produksi minyak sawit Indonesia juga kemungkinan besar akan pulih dan naik 1,8% atau 48,3 juta ton.
Ini terjadi setelah produksi minyak sawit global menyusut dalam 12 bulan terakhir, akibat hujan lebat dan kekurangan tenaga kerja akibat pandemi.
Namun, General Manager Kwantas Corp Christopher Chai memperkirakan bahwa "harga minyak sawit mentah telah melampaui ekspektasi" membuat pasar lebih bergejolak tahun ini.
"Pasar diperkirakan akan menghadapi lebih banyak volatilitas karena harga minyak sawit mentah telah melampaui ekspektasi," kata Chai.
"Kombinasi dari peningkatan pasokan dan penjualan dari paruh kedua tahun 2021 akan menyebabkan beberapa elastisitas harga di tempat kerja dan pembalikan," tambah Marcello Cultrera, manajer penjualan institusional dan pialang di Phillip Futures, Kuala Lumpur.
Analisi jajak pendapat juga telah memperingatkan "penurunan permintaan" lainnya menyusul meningkatnya kasus Covid-19 dan memulihkan tindakan penguncian di seluruh dunia.
Mereka mengatakan tingkat produksi yang lebih tinggi tetapi permintaan yang buruk akan menyebabkan peningkatan stok, yang dapat menekan harga di masa mendatang.
Produksi diharapkan pulih pada paruh kedua tahun ini karena curah hujan yang tinggi dan pemupukan yang lebih baik karena harga yang tinggi meningkatkan hasil buah sawit.
Para analis menambahkan bahwa mandat biodiesel B30 Indonesia, yang terdiri dari biofuel dengan 30% minyak sawit, juga akan berkontribusi pada ayunan harga di tengah jatuhnya ekspor minyak nabati.
Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) wal bulan ini mengatakan akan meminta pemerintah untuk merumuskan kembali tingkat pencampuran biodiesel atau merevisi pungutan ekspor jika harga kelapa sawit, yang sekarang diperdagangkan US$360 di atas minyak mentah, mempertahankan kenaikannya yang melambung.
Hal itu karena Kementerian Keuangan menaikkan tarif ekspor sawit dengan menerbitkan PMK No 191/PMK 05/2020, di mana pungutan ekspor minta mentah sawit atau `crude palm oil` (CPO) dengan harga di bawah atau sama dengan US$670 per ton dikenai tarif US$55 per ton. Tarif ini akan dinaikkan US$15 per ton setiap kenaikan harga CPO US$25 per ton.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan menetapkan harga referensi minyak sawit mentah (CPO) untuk penetapan bea keluar pada periode Januari 2021 sebesar US$951,86/ton.
Harga referensi ini meningkat US$81,09 atau 9,31% dibandingkan dengan harga Desember 2020 yang dipatok US$870,77/ton.
Menurut Ketua Umum APPKSI AM Muhammadyah, harga referensi CPO telah jauh melampaui threshold US$750/ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK (bea keluar) CPO sebesar US$74/ton untuk periode Januari 2021.
Menurutnya, penerapan BK ini akan menekan kembali harga Tandan Buah Segar (TBS) petani.
Pasalnya, dalam struktur penetapan harga TBS petani yang ditetapkan setiap minggu dipengaruhi pajak ekspor dan pungutan ekspor.
"Pajak ekspor dan pungutan ekspor itu masuk dalam biaya pengurang harga TBS yang diterima petani. Istilah umumnya biaya produksi yang diterapakan oleh perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang menjadi penerima TBS dari pengepul TBS," terang Muhammadyah di Jakarta, Jumat (22/1), melansir Beritasatu.com.
Untuk itu, pihaknya mengusulkan kepada pemerintah supaya bea keluar sawit sementara dinolkan atau ditunda terlebih dahulu agar tidak menjadi beban tambahan yang menyebabkan tertekannya harga di tingkat petani.
Jika tidak, maka kenaikan tarif pungutan ekspor CPO sudah cukup dan tidak perlu ditambah dengan penaikan bea keluar (BK).
Pasalnya, kenaikan pungutan ekspor tersebut saja sudah akan menekan harga TBS petani dan karena memang berkat pungutan ekspor inilah harga TBS petani terjaga melalui industri biodiesel.
Ia menambahkan, pungutan ekspor sawit merupakan keniscayaan untuk menyelamatkan industri biodiesel nasional. Pasalnya, sebanyak 9,5 juta ton CPO akan terbengkalai jika industri ambisius pemerintah itu tidak berjalan.
"Pembatalan kenaikan bea keluar atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya dimaksud agar agar pasar dapat mengunci harga bawah TBS petani di level Rp 2.100 per kilogram," jelasnya.
Karena itu, APPKSI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan bea keluar ekspor CPO atau menurunkan tarif pungutan ekspor CPO. Hal itu agar petani sawit bisa hidup sejahtera dan bisa merasakan hasil kerja kerasnya.*
comments