RUU PKS dan PPRT Masuk Prolegnas 2021, Amnesty International Minta DPR Kebut
search

RUU PKS dan PPRT Masuk Prolegnas 2021, Amnesty International Minta DPR Kebut

Zona Barat
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Foto: 20Detik.

Politeia.id -- Amnesty International Indonesia menyambut baik masuknya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dalam daftar 33 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

"Amnesty menyambut positif ditetapkannya sejumlah RUU yang sangat mempengaruhi kondisi pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)," ujar Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/1).

33 RUU Prolegnas 2021 telah disepakati dalam Rapat Kerja Perubahan Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020-2024 dan RUU Prioritas Tahun 2021 dengan Baleg DPR dan Panitia Perancang UU DPD RI, yang dihadiri oleh DPR, pejabat Kemenkuham dan anggota DPD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/1) malam seperti disiarkan TV Parlemen.

Menurut Usman, RUU PKS dan PPRT mendesak disahkan DPR dan Pemerintah tahun ini demi terciptanya keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan pekerja rumah tangga dan para penyintas kekerasan seksual di Indonesia.

"Yang dibutuhkan saat ini adalah payung hukum komprehensif. Sebab rumusan definisi soal kekerasan seksual di peraturan perundang-undangan masih memuat banyak celah yang mendorong terjadinya ketiadaan hukuman atau impunitas pelaku kekerasan seksual," papar Usman.

Usman mencontohkan, untuk pekerja rumah tangga, yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, hak-hak mereka belum diakui dan dilindungi dengan baik sehingga rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk.

Demikian halnya dengan perempuan korban kekerasan seksual. Masih banyak pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan yang berkeliaran seolah kebal hukum.

"Amnesty mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi atau mencabut segala peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan," tandas mantan Koordinator Kontras.

Untuk itu, Amnesty meminta pemerintah dan DPR memperhatikan catatan Komnas Perempuan mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan yang makin berkelindan.

Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan yang diterbitkan 6 Maret 2020, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen (hampir 800 persen), atau meningkat 8 kali lipat.

Menurut Komnas Perempuan, angka tersebut masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.

Komnas Perempuan juga merilis laporan bahwa terdapat Kekerasan terhadap Anak Perempuan (KTAP) yang melonjak sebanyak 2.341 kasus pada tahun 2019, dari sebelumnya sebanyak 1.417 kasus.

Jumlah kasus tersebut terjadi pada tahun 2019, di mana naik sebanyak 65 persen dan paling banyak adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual (571 kasus).

Dalam data pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus `cyber crime` 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300 persen. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.

Di sisi lain, kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas tahun 2019 naik sebanyak 47 persen dari tahun sebelumnya. Korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.

Dari kasus yang terjadi di tahun 2019, 1.277 kasus merupakan kasus berbasis gender dan 142 kasus lainnya non-gender.

"Pemerintah dan DPR RI harus memperhatikan catatan Komnas Perempuan. Bahkan, pengaduan kasus kejahatan di dunia maya di tahun 2019 mencapai 281 kasus, naik 300 persen dari tahun sebelumnya. Bahkan pada masa pandemi, kekerasan terhadap perempuan juga meningkat," papar Usman.

Dengan masuknya RUU PKS dan PPRT ke Prolegnas 2021, diharapkan menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR untuk memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Adapun rincian 33 RUU Prolegnas 2021, yakni 20 RUU merupakan usul dari DPR, 9 RUU usul dari pemerintah, 2 RUU berupa usul bersama dari DPR dan Pemerintah, serta 2 RUU adalah usul DPD.

Sebelumnya, ada 38 RUU yang diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2021. Setelah dibahas Baleg DPR, ada 5 RUU yang tidak jadi masuk Prolegnas Prioritas 2021, yakni RUU Jabatan Hakim, RUU BI, RUU HIP, dan RUU Ketahanan Keluarga.

RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sebelumnya banyak diprotes lantaran dianggap ingin memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila.

Sejumlah kelompok juga mempersoalkan tidak tercantumnya Tap MPRS XXV/1966 yang melarang ideologi komunisme, Marxisme-Leninisme serta pembubaran Partai Komunis Indonesia.

Sementara, RUU Ketahanan Keluarga dikritik karena dinilai akan terlalu mencampuri ranah privat. RUU ini juga dianggap tak memperhatikan keberagaman masyarakat Indonesia.

Sebagai ganti RUU HIP, pemerintah mengusulkan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Kendati RUU HIP dan RUU Ketahanan Keluarga dikeluarkan, masih ada RUU kontroversial lain dalam daftar Prolegnas prioritas 2021, salah satunya RUU Larangan Minuman Beralkohol yang dikritik karena dianggap bersinggungan dengan beberapa tradisi masyarakat.*

Tag:

comments