Tolak Divaksin, Ribka Tjiptaning: Lebih Baik Saya Bayar Denda
search

Tolak Divaksin, Ribka Tjiptaning: Lebih Baik Saya Bayar Denda

Zona Barat
Anggota Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning. Foto: Tangkapan Layar TV Parlemen.

Politeia.id -- Anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning Proletariyati menyatakan penolakannya untuk divaksin dalam program vaksinasi massal yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Ketimbang menderita penyakit pasca vaksinasi, politisi PDI Perjuangan memohon diri untuk membayar denda.

Pernyataan penolakan tersebut disampaikan Ribka tatkala menggelar rapat dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny K Lukito dan beberapa pejabat tinggi lainnya di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa (12/1).

"Saya tetap tidak mau divaksin. Maupun sampai yang 63 tahun bisa divaksin. Saya udah 63 nih, mau semua usia boleh, tetap, di sana pun hidup di DKI semua anak-cucu saya dapat sanksi Rp5 juta, mending saya bayar. Mau jual mobil, kek," katanya seperti terlihat dari tayangan TV Parlemen, sambil menambahkan bahwa PT Bio Farma sendiri belum mengeluarkan hasil uji klinis fase III di Bandung.

Ribka mengatakan, ada beberapa pengalaman sejarah yang perlu menjadi catatan dan evaluasi pemerintah terkait vaksinasi di Indonesia. Pasalnya, vaksinasi tidak selalu berhasil.

Salah satunya adalah vaksinasi polio dan kaki gajah yang pernah diberikan pemerintah di beberapa wilayah. Di Sukabumi, vaksinasi polio gagal. Begitu pula vaksin kaki gajah di Majalaya yang menewaskan sekitar 12 penduduk.

"Karena di India ditolak, di Afrika ditolak, maka masuk di Indonesia dengan (biaya) Rp1,3 triliun. Saya ingat betul itu. Jangan main-main dengan vaksin ini," tegas Ribka.

Selain itu, Ribka menyoroti hasil uji klinis tahap III yang sampai saat ini belum diumumkan. Sebab Indonesia memiliki kondisi geografi atau antibodi yang berbeda dengan negara lain sehingga mempengaruhi tingkat efikasi vaksin.

Hal mana terbukti dari nilai efikasi vaksin Sinovac yang berbeda di tiga negara, antara lain di Turki dan Brazil. Di Indonesia, BPOM mengumumkan nilai efikasi sebesar 65,3 persen, sedikit di atas ambang batas tetapan WHO sebesar 50 persen.

Namun, seperti disampaikan Juru Bicara Vaksin Covid-19 Bio Farma Bambang Heriyanto, vaksin Sinovac yang diberikan kepada masyarakat saat ini berbeda dengan vaksin untuk uji klinis sebelumnya.

Itu berarti, vaksin yang diberikan kali ini tidak merujuk pada hasil uji klinis yang digelar Agustus 2020 dengan melibatkan 1.620 relawan, termasuk Gubernur Ridwan Kamil.

Ribka memiliki latar belakang sebagai dokter sehingga ia benar-benar paham persoalan yang ada di lingkaran industri kesehatan tanah air dan juga dunia.

Mantan Ketua Komisi IX DPR ini mewanti-wanti jangan sampai pemerintah terjebak dalam pusaran bisnis kesehatan global sehingga mengabaikan dimensi keselatan rakyatnya.

Ia pun meminta pemerintah harus betul-betul memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan proses vaksinasi terhadap 181,5 juta penduduk sehat.

Ribka tak sepenuhnya menolak divaksin, untuk menyusul teladan Presiden Jokowi yang menjadi orang pertama menerima vaksin pada Rabu (13/1) kemarin.

"Nanti kalau saya sudah menganggap itu saya yakin, baru (divaksin). Itu kan sekarang kan WHO juga sudah ngeluarain kalau pemaksaan itu melanggar HAM," papar Ribka, menambahkan bahwa ia sering diledek rekanan sesama partai karena menolak divaksinasi.

Sementara itu, Budi Gunadi mengatakan pemerintah tidak memaksa setiap orang untuk divaksinasi karena itu merupakan haknya sebagai warganegara.

Namun, mantan Wakil Menteri BUMN menggarisbawahi bahwa proses vaksinasi merupakan bagian dari visi bersama untuk memerangi pandemi virus corona di tanah air.

"Tugas kami untuk bisa meyakinkan, mengajak bapak ibu untuk bersama-sama menunaikan fitrahnya kita sebagai manusia untuk `do good for the public`, tapi memang itu kembali juga ke bapak ibu sekalian," kata Budi Gunadi dalam rapat kerja lanjutan bersama Komisi IX DPR, Rabu (13/1).

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan akan memberikan denda bilamana ada warga yang menolak divaksinasi massal.

"Jika ada warga negara tidak mau divaksin bisa kena sanksi pidana. Bisa denda, bisa penjara, bisa juga kedua-duanya," ucap Edward dalam sebuah webinar, Sabtu (8/1) lalu.

Pemberian sanksi tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta.

Namun, Edward menerangkan bahwa hukuman pidana akan menjadi alternatif terakhir yang bisa dilakukan jika masyarakat tetap menolak divaksinasi massal.*

Tag:

comments