Dilarang Dampingi Saksi Kasus Korupsi, Advokat Protes dan Ancam Gugat Polri
search

Dilarang Dampingi Saksi Kasus Korupsi, Advokat Protes dan Ancam Gugat Polri

Zona Barat
Gedung Bareskrim Mabes Polri. FotoL Jurnas

Terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Tjoko Tjandra menjerat sejumlah Jenderal di tubuh Polri. Sebelum diciduk di Malaysia atas kerjasama Polri dan Kepolisian Diraja Malaysia pada Kamis (30/7/2020), Djoko bermanuver di tanah air untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum.

Djoko dalam aksinya memalsukan sejumlah dokumen perjalanannya. Sebut saja penerbitan surat jalan dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020. Surat itu diterbit untuk kepentingan Djoko saat berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat. Tak butuh waktu lama, permainan Djoko ditubuh Polri terungkap. Djoko dalam kasus ini bekerjasama dengan Brigjen Prasetijo Utomo. Saat itu Jenderal bintang satu itu menjabat Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.

Prasetijo pun langsung dicopot dari jabatannya. Pencopotan itu diduga Prasetijo telah melampui kewenangannya. Pasalnya, Prasetijo bergerak atas inisiatif sendiri tanpa melalui izin dari pimpinan. Selanjutnya Prasetijo ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan pasal berlapis. Pasca ditetapkan sebagai tersangka, Prasetijo menunjuk kuasa hukum untuk mendampinginya selama proses penyidikan hingga ke persidangan di pengadilan. Prasetijo menunjuk Petrus Bala Pattyona sebagai kuasa hukumnya.

Namun ada hal yang menarik dalam proses pemeriksaan Prasetijo di Bareskrim Polri. Saat diperiksa sebagai saksi atas kasus yang menjeratnya pada 13 Agustus 2020 lalu, penyidik menolak kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona untuk mendampingi selama proses pemeriksaan berlangsung. Petrus menuturkan, pihaknya ditolak penyidik Bareskrim untuk mendampingi saksi dalam kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

“Pagi ini 13 Agustus 2020, 2 pengacara Jakarta, Petrus Bala Pattyona dan Berman Sitompul ditolak penyidik Tipikor Bareskrim Polri. Kedua pengacara tersebut bersama Kliennya Brigjen Pol. PU sekitar pukul 10.00 WIB sudah berada di lantai 6 Bareskrim untuk menjalani pemeriksaan sebagai Saksi dalam dugaan tindak pidana korupsi berkaitan dengan kasus Joko Sugiarto Chandra dan Anita Anggraeni Kolopaking,” kata Petrus. 

 

Petrus Bala Pattyona

Sebelum kliennya diperiksa, kata Petrus, penyidik langsung jelaskan standar operasional prosedur (SOP) yang dikeluarkan Bareskrim yang menyebutkan bahwa untuk pemeriksaan Saksi dalam dugaan Tipikor, saksi tidak diperkenankan untuk didampingi oleh Penasehat Hukum. SOP tersebut mengacu pada poin 6 Peraturan Kabareskrim Nomor 3 Tahun 2013.

Dalam point 6 Peraturan Kabareskrim itu disebutkan bahwa penyidik meminta surat kuasa saksi kepada penasehat hukum yang mendampingi berikut izin prakteknya. Lalu penyidik menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada kuasa hukum saksi yang akan dilakukan pemeriksaan. Kemudian penyidik menjelaskan tata pemeriksaan di lingkungan Dittipikor Bareskrim bahwa dalam rangka pemeriksaan Saksi tidak diperkenankan untuk didampingi oleh Kuasa Hukum. Serta penyidik mempersilahkan kuasa hukum saksi untuk menunggu proses pemeriksaan saksi di ruang tunggu yang telah dipersiapkan.

“Atas pengusiran tersebut  kedua Penasehat Hukum hanya menunggu di ruang tunggu dan demi menghormati Peraturan Kabareskrim Nomor 03 Tahun 2013 itu,” tegasnya.

Tindakan tersebut kata Petrus telah melanggar pasal 27 dan 28 UUD 1945 yakni pelanggaran hak-hak warga negara dalam mencari, menjalankan pekerjaan dan penghidupan yang layak. “Permasalahan ini bukan hanya menimpa dan mempersulit kedua pengacara tersebut untuk menjalankan profesinya,” katanya.

Menurut Petrus, pembatasan tersebut mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Petrus pun berencana menggugat peraturan tersebut melalui Judicial Rewiew ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya pernah menguji Peraturan Menkeu tentang Advokat yang dilarang menangani kasus-kasus Pajak yang mencatatkan namanya dalam Putusan MK yang menyatakan Advokat dapat menangani kasus-kasus pajak walau bukan Konsultan Pajak,” katanya.

Aksi protes Petrus pun mendapat dukungan Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia (KAI) DKI Jakarta Ardy Mbalembout. Ardy menegaskan, pelarangan tersebut bentuk pelecehan terhadap advokat. Dalam KUHAP kata Ardy tidak diatur pelarangan pendampingan saksi oleh penasihat hukum. “Bahwa saksi itu dalam kesaksiannya harus merdeka dari rasa takut dan tekanan. Siapa yang bisa menjamin kalau saksi ini diperiksa dalam tekanan, karena engga didampingi Penasehat Hukumnya,” kata Ardy.

Menurut Ardy, peraturan Kabareskrim tersebut menjadi instrumen insubordinasi terhadap UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 28 J Ayat 1 dan 2 UUD 1945. “Kata-kata pembatasan yang ditetapkan dengan UU, bermakna bahwa pembatasan Hak seorang Saksi dan Kewajiban seorang Advokat harus dengan UU sesuai dengan perintah pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD’ 45 dan pasal 73 dan 74 UU No. 39 Tahun 1999, tentang HAM,” jelasnya.

Ardy menegaskan penolakan terhadap Petrus tidak mempunyai pendasaran hukum yang jelas. Hak dan kebebasan hanya dibatasi oleh UU. Aturan dibawahnya tidak mempunyai kekuatan apalagi peraturan Kabareskrim. Kasus yang alami Petrus kata Ardy bentuk potret buram dalam penegakan hukum. Bahkan bisa menjadi tragedi hukum, karena penegak hukum tidak taat lagi terhadap konstitusi. “Lantas membuat peraturan sendiri untuk melanggar HAM dan Hukum. Ini jelas sebagai bagian dari sikap Insubordinasi dalam hirarki Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” tegasnya.

Peraturan Kabareskrim kata Ardy bukan kategori hirarki peraturan Perundang-Undangan. “Karena itu tidak masuk diakal sehat publik, jika sekelas Institusi Polri, menganulir kekuatan berlakunya pasal tentang HAM dalam UUD 1945, KUHAP dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang melarang Saksi menggunakan Advokat selama pemeriksaan hanya dengan Perkaba,” katanya.

Menurut Ardy, peraturan kabareskrim tersebut hanya mengikat ke dalam Institusi Polri, bukan mengikat pihak lain termasuk advokat, saksi bahkan penyidik sendiri. Pasal 5 dan 7 KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2000 Tentang Polri menegaskan bahwa seorang penyidik mempunyai wewenang antara lain mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

“Dalam penjelasannya dimaknai tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dstnya, tindakan itu harus patut dan masuk akal dstnya, atas pertimbangan yang layak dstnya dan menghormati Hak Asasi Manusia,” tukasnya.

Sedangkan Advokat Peradi Petrus Selestinus menilai penolakan advokat untuk mendampingi kliennya tidak masuk akal. Senada dengan Ardy, Petrus menilai peraturan Kabareskrim tidak masuk kategori hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana amanat pasal 7 UU No.12 tahun 2011. Polri kata Petrus telah menganyulir kekuatan berlakunya pasal tentang HAM dalam UUD 1945, KUHAP dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. “Ini menghina Konstitusionalitas profesi advokat,” tukasnya.

Tag:

comments