Natalius Pigai: Kejahatan HAM di Papua Semakin Masif, Tidak akan Berhenti
search

Natalius Pigai: Kejahatan HAM di Papua Semakin Masif, Tidak akan Berhenti

Zona Barat
Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai membongkar alasan tak masuk dalam jajaran kepengurusan KAMI. Foto: Politeia.id/Arya Alexander

Politeia.id--Aktivis Hak Asasi Manusia asal Papua, Natalius Pigai kembali mengkritik Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) terkait masalah HAM di tanah kelahirannya.

Baru-baru ini, melalui ciutan akun Twitternya, @NataliusPigai2, Natalius mengkritisi kasus tewasnya dua warga Papua, Luther Zanambani dan Apinus Zanambani.

Menurut Natalius, masalah pelanggaran HAM di Papua semakin masif dan tidak akan berhenti karena pengaruh rasialisme dan Papua phobia. Setidaknya, kata Natalius, itu terlihat sejak kepemimpinan Jokowi.

"Kejahatan HAM di Papua semakin masif dan tidak akan henti krn atas dasar bangunan Rasialisme dan Papua Phobia, itu terlihat sejak Jokowi Pimpin," kata Natalius dalam ciutan Twitternya sebagaimana dikutip Politeia.id, Senin (28/12).

Menurut Natalius, situasi tersebut akan melahirkan perlawanan, tidak hanya datang dari warga Papua, melainkan juga dari luar negeri.

"Karena itu tidak hanya orang Papua tetapi dunia jg akan lawan jiwa2 rasis ini sampai ada keadilan," imbuh mantan Komisioner Komnas HAM ini.

Berdasarkan informasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Luhter dan Apinus menghilang sejak ditahan Koramil Sugapa pada 21 April 2020.

KontraS menyebut, Luhter dan Apinus ditangkap oleh prajurit TNI di Sugapa dalam sweeping pemeriksaan pemenuhan protokol kesehatan Covid-19.

"Alasan ini sebagaimana diketahui para saksi di lokasi sweeping, dan juga yang diketahui oleh keluarga pada saat itu. Namun rilis Danpuspomad menyatakan lain. Keduanya ditangkap karena dicurigai sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)," kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dalam situs resmi mereka.

Kendati demikian, lanjut Fatia, dalam interogasi, diduga terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan TNI hingga menyebabkan kedua korban meninggal dunia.

"Guna menghilangkan jejak, para terduga pelaku yang merupakan anggota TNI membakar kedua mayat korban dan membuang abunya ke Sungai Julai di Distrik Sugapa," ujarnya.

Terkait itu, Fatia mengatakan pihaknya mendesak agar anggota TNI yang diduga terlibat dalam serangkaian insiden hingga menyebabkan warga di Papua meninggal dunia, diadili di peradilan umum.

Ini juga berlaku bagi serangkaian peristiwa kekerasan seperti pembakaran rumah Dinas Kesehatan di Hitadipa, kekerasan dan pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani, dan penembakan Gembala Gereja Katolik di sekitar Bandara Sugapa.

Kesembilan tersangka itu adalah Mayor Inf MK dan Sertu FTP. Kemudian, Mayor Inf YAS, Lettu Inf JMTS, Serka B, Sertu OSK, Sertu MS, Serda PG, Kopda MAY. Mereka dijerat Pasal 170 ayat 1, Pasal 170 ayat 2 ke-3, Pasal 351 ayat 3, Pasal 181 KUHP, Pasal 132 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

“Setidaknya, para pelaku kasus hilangnya Luther dan Apinus Zanambani bisa diadili di peradilan umum. Dalam aturan UU Peradilan Militer jelas tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI itu terletak pada kepentingan umum, sehingga mekanisme proses di Peradilan Umum lebih tepat dibandingkan dilakukan melalui mekanisme Peradilan Militer," ujar Fatia di Jakarta, Sabtu (26/12).

Deretan kekerasan di Papua

Dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia pada 10 Desember 2020, KontraS merilis data bahwa sepanjang tahun 2020, terjadi 40 aksi kekerasan di Papua sepanjang 2020.

Peneliti KontraS, Arif Nur Fikri dalam konferensi pers virtual, Kamis (10/12), menyebut, 40 kasus tersebut didominasi oleh kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat. Baik yang dilakukan oleh TNI, Polri, maupun keduanya terhadap masyarakat Papua.

"Dalam dokumentasi kami, peristiwa itu mengakibatkan 276 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas maupun ditangkap," kata Arif.

Menurut dia, banyaknya korban sipil yang jatuh dalam aksi kekerasan di Papua seharusnya membuka mata pemerintah bahwa pendekatan militerisme tidak efektif di Papua. Menurut Arif, hal ini sangat perlu dievaluasi oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menyebut, pendekatan keamanan yang masih digunakan pemerintah di Papua, tak memiliki legitimasi ataupun Undang-Undang yang membawahi terkait daerah operasi militer di Papua.

"Sebenarnya sudah dicabut oleh pemerintah pada 1999, tapi pendekatan, cara-cara dan pola pendekatan keamanan masih terus dilakukan hingga hari ini," ujarnya.

Tag:

comments